Seminar Nasional “Reaktualisasi Nilai-Nilai Budaya Untuk Menghadapi Bonus Demografi” diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Bone Yogyakarta (FKMB-Y)
Foto Bersama Para Pembicara Seminar Nasional |
Bertepatan Hari Kamis, tanggal 27
April 2017, pukul 9.30 WIB Forum Komunikasi Mahasiswa Bone Yogyakarta
mengadakan satu kegiatan Seminar Nasional dalam rangka memperingati hari jadi
Bone ke-687, tema yang diangkat dalam seminar nasional ini “Reaktualisasi Nilai-Nilai Budaya Untuk
Menghadapi Bonus Demografi”, Seminar Nasional ini di selenggarakan di Ruang
Interaktif Center Fakultas Sosial Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Seminar Nasional Kebudayaan
menghadirkan 3 pembicara yang membawakan materi, diantaranya : Prof. Dr. M.
Mukhtasar Syamsuddin, yang mengangkat tentang Quo vadis bonus demografi di
Indonesia telaah filsafat terhadap dampak-dampak
yang akan timbulkan , menurut pemaparan mantan dekan Fakultas Filsafat
UGM ini, Pertumbuhan penduduk usia kerja yang lebih pesat dibanding dengan
pertumbuhan penduduk muda memberikan peluang untuk mendapatkan Bonus Demografi.
Selain itu, menurutnya, bonus demografi sangat berkaitan dengan isu
kependudukan yang kemudian mengintervensi ekonomi.
Indonesia akan mendapatkan bonus
demografi, yaitu jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai sekitar 70
persen, Sedang 30 persen penduduk yang tidak produktif (usia 14 tahun ke bawah
dan usia di atas 65 tahun) yang akan terjadi pada tahun 2020-2030. Di Era
sekarang ini manusia sebagai pengembang pengetahuan dan kebudayaan, tapi sangat
ironis manusia sebagai pencipta teknologi justru menjadi objek oleh teknologi (Smartphone) seharusnya kita menjadi
subjek teknologi.
Pemateri Kedua Dr. Mustadin
Taggala, M.S.i membahas Potensi dan Tantangan Pemuda Menghadapi Bonus Demografi
2020, menurut Dosen Kelahiran Cendrana Kabupaten Bone ini. Dalam sejarah
perjalanan bangsa Indonesia tercatat bahwa pelajar/mahasiswa mempunyai peranan
yang sangat penting, diantaranya Kebangkitan Nasional tahun 1908, Sumpah Pemuda
tahun 1928, Proklamasi Kemerdekaan NKRI
tahun 1945, Lahirnya Orde Baru tahun 1966, Reformasi tahun 1998. Jadi tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam peristiwa-peristiwa besar tersebut
Pelajar/mahasiswa tampil di depan sebagai motor penggerak dengan berbagai
gagasan, semangat dan idealisme yang mereka miliki. Mahasiswa didukung oleh
modal dasar yang mereka miliki, yaitu: intelegensi, kemampuan berpikir kritis,
dan keberanian untuk menyatakan kebenaran. Dengan kompetensi yang mereka miliki
tersebut mahasiswa diharapkan mampu menjadi agen perubahan, mampu menyuarakan
kepentingan rakyat, mampu mengkritisi kebijakan-kebijakan yang koruptif, dan
mampu menjadi watch dog lembaga-lembaga negara dan penegak hukum.
Dosen Sekaligus Kaprodi Psikologi
UIN Sunan Kalijaga ini juga memaparkan beberapa tantangan Generasi Muda
diantaranya :
1) Korupsi belum mampu secara
efektif di hilangkan, 2) Organisasi Transnasional mengintai Pancasila dan NKRI,
(ISIS dll.), 3) MEA sebagai ancaman atau
peluang Kesejahteraan Bangsa, 4) MEA Juga menjadi hal yang sesegera mungkin
direspon secara konstruktif, 5) Kerukunan Bangsa masih Sesekali memercikkan
Konflik Horizontal, 6) Exploitation risk
: persoalan ketenaga kerjaan yang menimpa masyarakat yang tidak siap bekerja
(low-skill) & dan yang sedang marak adalah “eksploitasi ideologi” yang
menyebabkan banyak anak muda memilih masuk dalam situasi pertentangan politik
negara lain atas nama agama, misalnya perang antar ummat Islam di Syiria dll, 7)
Competition risk : selain komoditi yang diproteksi akan semakin berkurang,
negara kita akan dilanda tenaga kerja terampil, yang pastinya akan menekan
akses pekerjaan midle-up bagi kalangan pribumi terutama usia produktif, kondisi
terparahnya bisa berupa akses kerja semakin menyempit khususnya pada tenaga
fresh graduate.
Menurut Mantan Wakil Ketua FKMB-Y
(2004-2005) dan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia ini (2013-2016),
relevansi modalitas Kultural Menghadapi Bonus Demografi Masyarakat Bugis
memiliki modal kultural yang cukup untuk berkompetisi, yaitu Nilai Budaya “siri”-“ripakasiri”- “masiri”. Siri
memiliki dimensi kultural, spritual dan sangat psikologis, Sumber seseorang
ripakasiri ada dua yaitu orang lain dan diri sendiri, Orang yang masiri harus
melakukan ritual kultural dalam bahasa psikologi disebut “self healing”.
Pemaparan pemateri ke-tiga oleh
Dr. Mustaqim Pabbaja, M.A memaparkan tentang “Revitalisasi Cultural Heritage
Sebagai Strategi Dalam Menghadapi Bonus Demografi”, menurut Dekan Fakultas
Pendidikan Universitas Teknologi Yogyakarta ini, Kebudayaan Lokal/Daerah
sebagai “sumber” bagi kecerdasan kolektif dalam merumuskan tindakan strategis
bagi Indonesia dan dunia, Kebudayaan Lokal/Daerah sebagai “fasilitas” dalam
mengakses pengetahuan atau kecerdasan kolektif untuk kepentingan akademik dan
kebijakan menghadapi tantangan “Bonus Demografi”.
Fungsi Revitalisasi Cultural
Heritage pertama , 1) mendorong transformasi masyarakat berkiblat pada “kode
moral” budaya local, 2) Memberi legitimasi simbolik bagi kemajuan bersama dalam
orientasi (kolektivisme), 3) Menjalankan fungsi kritik sosial (evaluasi atas
suatu keabsahan kebijakan) atas praktik sosial dalam penataan wilayah/daerah. Menurut
Doktor muda ini, nilai budaya diterjemahkan untuk menghadapi bonus demografi
melalui daya nalar kreativitas dan daya cipta, berfikir untuk mempekerjakan
orang dan membangkitkan kearipan lokal, sehingga nilai-nilai kebudayaan tidak
terkikis begitu saja, seiring perkembangan zaman.
Dari rangkaian seminar tadi,
ketiga pembicara sepakat bahwa bonus demografi adalah anugerah yang perlu
dikelola dengan baik. Perencanaan kebijakan harus mendukung agar bonus
demografi tersebut tidak menjadi bencana. Agar bonus demografi tidak menjadi bencana,
maka yang diperlukan adalah peningkatan kemampuan intelektual atau kompetensi
yang baik. Saat ini, Negara kita telah memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA), bonus demografi telah didepan mata. Oleh sebab itu, perlunya kebijakan
pemerintah yang berpihak pada pengelolaan dan pengembangan sumber daya manusia.
0 comments: