Tulisan Baru

Saturday 6 May 2017

Seminar Nasional “Reaktualisasi Nilai-Nilai Budaya Untuk Menghadapi Bonus Demografi” diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Bone Yogyakarta (FKMB-Y)

Foto Bersama Para Pembicara Seminar Nasional
Bertepatan Hari Kamis, tanggal 27 April 2017, pukul 9.30 WIB Forum Komunikasi Mahasiswa Bone Yogyakarta mengadakan satu kegiatan Seminar Nasional dalam rangka memperingati hari jadi Bone ke-687, tema yang diangkat dalam seminar nasional ini “Reaktualisasi Nilai-Nilai Budaya Untuk Menghadapi Bonus Demografi”, Seminar Nasional ini di selenggarakan di Ruang Interaktif Center Fakultas Sosial Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Seminar Nasional Kebudayaan menghadirkan 3 pembicara yang membawakan materi, diantaranya : Prof. Dr. M. Mukhtasar Syamsuddin, yang mengangkat tentang Quo vadis bonus demografi di Indonesia telaah filsafat terhadap dampak-dampak  yang akan timbulkan , menurut pemaparan mantan dekan Fakultas Filsafat UGM ini, Pertumbuhan penduduk usia kerja yang lebih pesat dibanding dengan pertumbuhan penduduk muda memberikan peluang untuk mendapatkan Bonus Demografi. Selain itu, menurutnya, bonus demografi sangat berkaitan dengan isu kependudukan yang kemudian mengintervensi ekonomi.
Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, yaitu jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai sekitar 70 persen, Sedang 30 persen penduduk yang tidak produktif (usia 14 tahun ke bawah dan usia di atas 65 tahun) yang akan terjadi pada tahun 2020-2030. Di Era sekarang ini manusia sebagai pengembang pengetahuan dan kebudayaan, tapi sangat ironis manusia sebagai pencipta teknologi justru menjadi objek oleh teknologi (Smartphone) seharusnya kita menjadi subjek teknologi.

Pemateri Kedua Dr. Mustadin Taggala, M.S.i membahas Potensi dan Tantangan Pemuda Menghadapi Bonus Demografi 2020, menurut Dosen Kelahiran Cendrana Kabupaten Bone ini. Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia tercatat bahwa pelajar/mahasiswa mempunyai peranan yang sangat penting, diantaranya Kebangkitan Nasional tahun 1908, Sumpah Pemuda tahun 1928, Proklamasi  Kemerdekaan NKRI tahun 1945, Lahirnya Orde Baru tahun 1966, Reformasi tahun 1998. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam peristiwa-peristiwa besar tersebut Pelajar/mahasiswa tampil di depan sebagai motor penggerak dengan berbagai gagasan, semangat dan idealisme yang mereka miliki. Mahasiswa didukung oleh modal dasar yang mereka miliki, yaitu: intelegensi, kemampuan berpikir kritis, dan keberanian untuk menyatakan kebenaran. Dengan kompetensi yang mereka miliki tersebut mahasiswa diharapkan mampu menjadi agen perubahan, mampu menyuarakan kepentingan rakyat, mampu mengkritisi kebijakan-kebijakan yang koruptif, dan mampu menjadi watch dog lembaga-lembaga negara dan penegak hukum.

Dosen Sekaligus Kaprodi Psikologi UIN Sunan Kalijaga ini juga memaparkan beberapa tantangan Generasi Muda diantaranya :
1) Korupsi belum mampu secara efektif di hilangkan, 2) Organisasi Transnasional mengintai Pancasila dan NKRI, (ISIS dll.),  3) MEA sebagai ancaman atau peluang Kesejahteraan Bangsa, 4) MEA Juga menjadi hal yang sesegera mungkin direspon secara konstruktif, 5) Kerukunan Bangsa masih Sesekali memercikkan Konflik Horizontal,  6) Exploitation risk : persoalan ketenaga kerjaan yang menimpa masyarakat yang tidak siap bekerja (low-skill) & dan yang sedang marak adalah “eksploitasi ideologi” yang menyebabkan banyak anak muda memilih masuk dalam situasi pertentangan politik negara lain atas nama agama, misalnya perang antar ummat Islam di Syiria dll, 7) Competition risk : selain komoditi yang diproteksi akan semakin berkurang, negara kita akan dilanda tenaga kerja terampil, yang pastinya akan menekan akses pekerjaan midle-up bagi kalangan pribumi terutama usia produktif, kondisi terparahnya bisa berupa akses kerja semakin menyempit khususnya pada tenaga fresh graduate.
Menurut Mantan Wakil Ketua FKMB-Y (2004-2005) dan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia ini (2013-2016), relevansi modalitas Kultural Menghadapi Bonus Demografi Masyarakat Bugis memiliki modal kultural yang cukup untuk berkompetisi, yaitu Nilai Budaya “siri”-“ripakasiri”- “masiri”. Siri memiliki dimensi kultural, spritual dan sangat psikologis, Sumber seseorang ripakasiri ada dua yaitu orang lain dan diri sendiri, Orang yang masiri harus melakukan ritual kultural dalam bahasa psikologi disebut “self healing”.
Pemaparan pemateri ke-tiga oleh Dr. Mustaqim Pabbaja, M.A memaparkan tentang “Revitalisasi Cultural Heritage Sebagai Strategi Dalam Menghadapi Bonus Demografi”, menurut Dekan Fakultas Pendidikan Universitas Teknologi Yogyakarta ini, Kebudayaan Lokal/Daerah sebagai “sumber” bagi kecerdasan kolektif dalam merumuskan tindakan strategis bagi Indonesia dan dunia, Kebudayaan Lokal/Daerah sebagai “fasilitas” dalam mengakses pengetahuan atau kecerdasan kolektif untuk kepentingan akademik dan kebijakan menghadapi tantangan “Bonus Demografi”.

Fungsi Revitalisasi Cultural Heritage pertama , 1) mendorong transformasi masyarakat berkiblat pada “kode moral” budaya local, 2) Memberi legitimasi simbolik bagi kemajuan bersama dalam orientasi (kolektivisme), 3) Menjalankan fungsi kritik sosial (evaluasi atas suatu keabsahan kebijakan) atas praktik sosial dalam penataan wilayah/daerah. Menurut Doktor muda ini, nilai budaya diterjemahkan untuk menghadapi bonus demografi melalui daya nalar kreativitas dan daya cipta, berfikir untuk mempekerjakan orang dan membangkitkan kearipan lokal, sehingga nilai-nilai kebudayaan tidak terkikis begitu saja, seiring perkembangan zaman.

Dari rangkaian seminar tadi, ketiga pembicara sepakat bahwa bonus demografi adalah anugerah yang perlu dikelola dengan baik. Perencanaan kebijakan harus mendukung agar bonus demografi tersebut tidak menjadi bencana. Agar bonus demografi tidak menjadi bencana, maka yang diperlukan adalah peningkatan kemampuan intelektual atau kompetensi yang baik. Saat ini, Negara kita telah memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), bonus demografi telah didepan mata. Oleh sebab itu, perlunya kebijakan pemerintah yang berpihak pada pengelolaan dan pengembangan sumber daya manusia.

0 comments:

Melestarikan Budaya di Bumi Mataram, Pagelaran Budaya "Songko To Bone"

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari 17.504 Pulau dan 1340 Suku ,tentu ini menjadi khazanah bagi Negara yang menjujung tinggi nilai-nilai kebudayaan. Sebuah kebanggaan bagi bangsa ini karena dari sabang sampai maraoke, toleransi berbudaya dan bersuku sungguh sangat di junjung tinggi.
Pagelaran Songko To Bone

Jika kita melihat lebih spesifik lagi disebuah pulau yang menjadi central industry wilayah timur Indonesia, yaitu pulau Sulawesi, pulau yang dulunya terkenal dengan ayam jantan dari timur ini, kini terbentuk beberapa provinsi diantarannya : Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara.

Tentu dengan pemekaran kepulauan Sulawesi ini berdampak besar dalam pertumbuhan ekonomi di masing-masing provinsi, namun dalam aspek budaya tetap mempertahankan budaya-budaya lokal dari timur, terlihat dari perhatian pemerintah setempat untuk selalu memberikan ruang kepada budayawan agar selalu melestarikan budaya nusantara, bahkan dukungan dari pemerintah pusat juga sangat tinggi.

Daerah Istimewah Yogyakarta yang menjadi icon kota pendidikan Indonesia, tentu bisa menjadi kiblat kebudayaan nusantara karena di kota gudeg ini banyak pelajar dan mahasiswa daerah dari semua penjuru nusantara yang melanjutkan study nya di Kota Pelajar ini, terbukti banyak sekali asrama mahasiswa daerah yang memang sudah diberikan oleh pemerintah provinsinya, sebagai wadah untuk menjalin silaturahmi di negeri perantauan dalam menuntut ilmu.

Keberedaan putra-putri daerah yang melanjutkan pendidikan nya dijogja inilah yang memberikan warna di kota pelajar ini, dengan saling bertukar informasi bahkan terkadang mengadakan kegiatan budaya dalam pertunjukan seni budaya nusantara dalam satu wadah IKPMDI (Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah Indonesia), begitu besar andil IKPMDI di Kota Gudeg ini, sehingga pemerintah DIY memberikan ruang kepada segenap pelajar dan mahasiswa daerah untuk mengekspresikan seni dan budaya daerah masing-masing.

Baru baru ini tanggal 29 April 2017 ada kegiatan pagelaran budaya “Songko To Bone” yang dipentaskan oleh FKMB-Y (Forum Komunikasi Mahasiswa Bone Yogyakarta) di Pendhapa Art Space Yogyakarta, FKMB-Y merupakan sebuah wadah dari mahsiswa dan pelajara yang berdarah Bone, Bone sendiri merupakan sebuah Kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan, Pagelaran “Songko To Bone “ ini merupakan kecintaan putra-putri bangsa dengan kebudayaannya, sekalipun mereka di seberang pulau.

Pagelaran Budaya “Songko To Bone” yang tampilkan, merupakan adaptasi dari Kerajaan Bone pada masa kerajaan kisaran tahun 1683 M. Songko dijadikan sebagai pembeda antara pasukan kerajaan Bone dengan pasukan musuh dalam peperangan dam ekspansi kerajaan. Songko Recca menjadi kopiah resmi atau songko kebesaran yang digunakan Raja, Bangsawan dan para ponggawa-ponggawa kerajaan


Indonesia itu kaya akan budaya, ini baru sepenggal cerita dari sebuah kabupaten dimana Bapak Yusuf Kalla (Wapres RI ) dilahirkan Provinsi Sulawesi Selatan ,masih ada 34 provinsi lagi tentu kaya dengan budaya nusantara. Selayaknya memang, sebagai generasi penerus bangsa, kita bangga dengan kebudayaan nusantara yang kita miliki, dengan melestarikan dan meperlihatkan ke dunia bahwa Indonesia kaya akan seni dan budaya dari setiap penjuru pulau yang terbentang dari sabang sampai marauke kami satu dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia.

0 comments: