Tata Cara Perkawinan Adat Bugis Bone
Setiap
suku bangsa di dunia tentu memiliki adat kebiasaan atau tradisi yang menjadi
ciri khas daerahnya, demikian pula Suku Bugis khususnya Bugis Bone. Berikut ini
kami akan paparkan secara lengkap tentang kronologis dan tata bahasa yang
sering digunakan oleh Suku Bugis dalam melaksanakan hajatan pernikahan.
I.
MAMMANU'-MANU' = MAPPESE'-PESE' = MAPPAU RI BOKO TANGE' = MABBALAWO
CICI = MABBAJA LALENG, yang memiliki arti :
menjajaki, melakukan pendekatan, membuka jalan, merintis.
II.
LETTU' = MASSURO = MADDUTA, artinya :
melamar, meminang, atau menyampaikan
lamaran yang dilakukan oleh salah seorang atau masing-masing duta dari kedua
belah pihak untuk berdialog. Waktu melamar ini belum melibatkan banyak orang,
biasanya paling banyak 3-5 orang dari masing-masing pihak (kedua duta).
III.
MAPPASIAREKENG, artinya mengukuhkan
kembali apa yang telah disepakati oleh kedua duta yang dihadiri oleh sesepuh
dari masing-masing pihak. Dalam pelaksanaannya belum melibatkan banyak orang,
yaitu cukup kedua duta bersama sesepuh dari masing-masing pihak. Pada tahap
inilah ditentukan waktu pelaksanaan Mappettu Ada
yang artinya mengambil keputusan. Setelah ada kesepakatan barulah kemudian
dilaksanakan.
IV.
MAPPETTU ADA, artinya mengambil
keputusan bersama terkait dengan segala sesuatunya yang akan dilaksanakan,
termasuk kesepakatan duta terdahulu dan selanjutnya kesepakatan waktu itu
mengenai :
1. SOMPA
atau SUNRANG, yaitu mahar atau mas
kawin, sebagai hukum syariah.
2. DOI MENRE' = BALANCA,
artinya uang naik, sebagi hukum adat.
3. LEKO'
atau ALU' = KALU = ERANG-ERANG = TIWI-TIWI,
artinya bawaan atau seserahan. dalam bahasa Bugis Bone disebut Passuro
yang dihantarkan sewaktu hari pelaksanaan akad nikah.
4. ACCATAKENG,
artinya pencatatan nikah pada penghulu (KUA) dan termasuk biayanya.
5. PAKEANG BOTTING,
artinya busana pengantin yang akan disepakati.
6. TONANGENNA,
artinya kendaraan yang dibutuhkan dari kedua belah pihak.
7. TANRA ESSONA,
artinya pelaksanaan hari "H" mencakup :
a. Mappaenre' Botting,
artinya mengantar calon pengantin laki-laki ke rumah calon pengantin perempuan
untuk melaksanakan akad nikah.
b. Akkalabinengenna,
artinya akad nikah.
c. Mapparola,
artinya sesudah akad nikah, pengantin
perempuan bersama pengantin laki-laki diantar ke rumah pengantin laki-laki.
d. Aggaukeng,
artinya pelaksanaan pesta atau resepsi dari kedua belah pihak.
V.
Kegiatan selanjutnya dari masing-masing pihak sesuai kemampuan misalnya :
1. MASSARAPO
= MABBARUGA, artinya tempat pelaksanaan pesta
disiapkan.
2. MAPPALETTU' SELLENG = MATTAMPA,
artinya menyampaikan undangan kepada handai taulan dan kerabat lainnya.
3. Kedua calon pengantin sangat dibatasi lingkup
geraknya demi menghindari hal-hal yang tidak diharapkan. Dalam istilah bahasa
Bugis Bone disebut RAPO-RAPONNA
4. Khusus calon pengantin perempuan disebut RIPALLEKKE
atau RIPASSOBBU, artinya dipingit
ditempatkan pada suatu kamar khusus. Nanti muncul setelah 5 atau 3 hari sebelum
akad nikah.
5. Selama dipingit sampai hari pelaksanaan akad nikah,
banyak acara ritual yang masing-masing punya makna atau simbol, dalam bahasa
Arab disebut TAFAUL dan dalam bahasa Bugis
disebut SENNU-SENNUANG atau SENNU-SENNUENGENG,
antara lain :
a. Mabbedda' Bolong,
artinya memakai bedak hitam dari beras yang sudah disangrai atau digoreng
sampai hangus tanpa minyak dan ditumbuk bersama bangle sampai halus. Untuk
pemakainannya dicampur dengar jeruk nipis, baru dioleskan kebagian anggota
tubuh utamanya wajah, lengan, kaki, dan lainnya, dibiarkan sampai kering dan
lengket betul. Hal ini persiapan untuk mandi sebagai lulur.
b. Ripasau,
artinya mandi uap.
c. Cemme Passili,
artinya mandi tolak bala (cemme tula' bala).
d. Macceko,
artinya membuka atau mencukur bulu-bulu halus pada bagian tertentu, untuk
memuluskan kulit utamanya wajah sebelum acara Tudang Penni
(Malam Pacar).
e. Tudang Penni
atau malam pacar pada umumnya dilaksanakan seperti : khatam Al-Qur’an,
Barzanji, Mappacci dan kegiatan lainnya
sampai pagi. Kegiatan ini persiapan untuk menunggu calon pengantin pria dalam
pelaksanaan akad nikah esok harinya.
VI.
Pelaksanaan akad nikah dalam bahasa Bugis Akkalaibinengeng atau Appasialang,
sebagai acara puncak yang sakral, dengan resminya menjadi pasangan suami-isteri.
Sebelum acara akad nikah dan sesudahnya, masih banyak acara yang perlu
dilaksanakan dari kedua belah pihak, seperti :
1. Pihak perempuan lebih awal mempersiapkan segala
sesuatunya menunggu kedatangan rombongan dari pihak laki-laki dalam bahasa Bugis
disebut Madduppa Botting.
2. Pihak laki-laki juga demikian halnya, untuk menuju
kediaman calon pengantin perempuan lengkap dengan bawaannya yang disebut Leko'
serta Walasuji dan maharnya diantar oleh
sanak saudara, handai taulan, kerabat keluarga bahkan pinisepuh/sesepuh.
Rombongan tersebut dalam bahasa Bugis
disebut Pampawa Botting/Pattiwi Botting
atau Pappapenning.
3. Sesudah pelaksanaan akad nikah ada pula acara yang
disebut Mappasiluka atau Mappasikarawa
artinya membatalkan wudhu yakni pengantin pria menuju kamar pengantin wanita
(isterinya) untuk bersalaman sebagai pertanda sudah sahnya hubungan mereka
sebagai suami-isteri. Pada saat inilah Inang Botting/Indo’
Botting dari pihak perempuan dan " Amang
Botting/Ambe’ Botting
dari pihak laki-laki menggunakan baca-bacanya atau mantra, agar pasangan ini
dapat menjadi pasangan yang sakinah, mawaddah, warohmah.
4. Sesudah acara tersebut, pasangan pengantin keluar
dari kamar selanjutnya menemui orang tua/pinisepuh untuk menyampaikan
permohonan maafnya, memohon doa restunya agar segala kesalahan, dosa, dan
kedurhakaannya dimaafkan agar mereka dapat hidup bahagia, sejahtera, aman, dan
damai dunia-akhirat. Dalam bahasa Bugis disebut Mellau Addampeng,
dalam bahasa Jawa disebut Sungkeman.
5. Sesudah acara tersebut, keduanya diantar menuju
baruga untuk duduk bersanding di atas pelaminan yang disaksikan para tamu
undangan yang hadir.
6. Setelah rombongan atau pengantar pengantin pria
sudah pulang, maka dari pihak wanita mempersiapkan rombongannya untuk mengantar
pengantin wanita bersama pengantin pria, sebagai umpan balik sekaligus
pengantin wanita menemui mertuanya/pinisepuh dari pihak pria. Kegiatan ini
disebut Mapparola sekaligus Mammatowa
dalam bahasa Bugis. Kegiatan ini dapat dilakukan apabila jarak tempat keduanya
berdekatan karena acara pesta atau Aggaukeng
dari pihak perempuan dilaksanakan pada malam harinya (pada hari tersebut).
Adapun kalau tempat berjauhan maka pada hari itu belum dilaksanakan acara Mapparola,
nanti esok harinya dilaksanakan, maka acara ini disebut Marola-Mabbenni
untuk pertama kalinya.
7. Waktu pelaksanaan Marola,
maka acara pesta dari pihak pria baru dilaksanakan.
8. Setelah keduanya telah melaksanakan pesta, maka
pasangan suami isteri ini dapat dikatakan mandiri. Dalam bahasa Bugis disebut Nalaowwanni
Alena. Namun masih ada kegiatan-kegiatan yang
perlu dilalui seperti :
a. Marola Wekkadua,
artinya pengantin perempuan diantar oleh dua atau tiga orang perempuan untuk
bersama-sama ke rumah pengantin laki-laki dengan pakaian biasa dan bermalam
satu malam. Pada subuh harinya, pengantin bersama pengantarnya kembali sesudah
sarapan. Maka pada saat itu mertua pengantin wanita memberikan hadiah kepada
menantunya.
b. Ada pula yang disebut acara MAPPITU
dari pihak laki-laki, yaitu tujuh orang wanita tua berbaju Ponco'
atau Waju Tokko' dalam bahasa Bugis dan
dalam bahasa Makassar disebut Baju Bodo
bersama tiga orang tua lainnya, datang ke rumah pengantin wanita dengan membawa
kue-kue adat seperti : dodoro', baje, beppa pute, beppa laiyya, cucuru' tenne,
dan lain-lain. Kedatangan tersebut dimaksudkan silaturahim dalam membina
kerukunan keluarga yang dalam bahasa Bugis disebut Massita Baiseng.
c. Mabbarazanji
yang dimulai keluarga wanita kemudian disusul oleh keluarga pihak pria. Ini
sebagai pertanda rasa syukur atas terlaksananya apa yang diharapkan. Pada acara
ini, pengantin bisa bermalam bisa juga tidak. Dan pada saat itu pula
dilaksanakan suatu kegiatan yang lazim disebut Malluka Sarapo.
d. Poleang Punge', artinya
setelah acara Mabbarazanji dilaksanakan,
maka subuh esok harinya, pengantin pria kembali ke rumahnya untuk mengambil
seperti: Gula Merah (manis), Kelapa (gurih), dan Telur (bulat/menyatu). Hal ini
dimaksudkan sebagai simbol atau Tafaul atau
Sennu-sennuang. Agar semoga
kehidupannya kelak serba berkecukupan, yang dalam bahasa Bugis mengatakan Tennapodo
Macenning Malunra' Atuwong-tuwong Linona
dan senantiasa menyatu. Barang tersebut diteruskan ke pangkuan sang isteri
sebagai symbol penghasilan pertama dari suami (Poleang Punge')
dan langsung disimpan oleh sang isteri.
e. Selanjutnya ziarah kubur dan mandi-mandi.
Sebenarnya prosesi ini tidak masuk dalam rangkaian inti acara pernikahan adat
Bugis, namun menjadi kebiasaan bagi mereka yang telah melaksanakan hajat besar
seperti pernikahan, untuk menyiarahi makam leluhur atau keluarga yang telah
mendahuluinya.
Demikian
rangkaian pokok dalam prosesi pernikahan Adat Bugis. Selanjutnya kami akan
paparkan tata bahasa atau ungkapan dalam bahasa Bugis pada waktu melamar dari
pihak laki-laki dan ungkapan dari pihak perempuan. (Red A.M)
0 comments: