Tulisan Baru

Thursday, 5 January 2017

Tata Cara Perkawinan Adat Bugis Bone



Setiap suku bangsa di dunia tentu memiliki adat kebiasaan atau tradisi yang menjadi ciri khas daerahnya, demikian pula Suku Bugis khususnya Bugis Bone. Berikut ini kami akan paparkan secara lengkap tentang kronologis dan tata bahasa yang sering digunakan oleh Suku Bugis dalam melaksanakan hajatan pernikahan.
I. MAMMANU'-MANU' = MAPPESE'-PESE' = MAPPAU RI BOKO TANGE' = MABBALAWO CICI = MABBAJA LALENG, yang memiliki arti : menjajaki, melakukan pendekatan, membuka jalan, merintis.
II. LETTU' = MASSURO = MADDUTA, artinya : melamar,  meminang, atau menyampaikan lamaran yang dilakukan oleh salah seorang atau masing-masing duta dari kedua belah pihak untuk berdialog. Waktu melamar ini belum melibatkan banyak orang, biasanya paling banyak 3-5 orang dari masing-masing pihak (kedua duta).
III. MAPPASIAREKENG, artinya mengukuhkan kembali apa yang telah disepakati oleh kedua duta yang dihadiri oleh sesepuh dari masing-masing pihak. Dalam pelaksanaannya belum melibatkan banyak orang, yaitu cukup kedua duta bersama sesepuh dari masing-masing pihak. Pada tahap inilah ditentukan waktu pelaksanaan Mappettu Ada yang artinya mengambil keputusan. Setelah ada kesepakatan barulah kemudian dilaksanakan.
IV. MAPPETTU ADA, artinya mengambil keputusan bersama terkait dengan segala sesuatunya yang akan dilaksanakan, termasuk kesepakatan duta terdahulu dan selanjutnya kesepakatan waktu itu mengenai :
1. SOMPA atau SUNRANG, yaitu mahar atau mas kawin, sebagai hukum syariah.
2. DOI MENRE' = BALANCA, artinya uang naik, sebagi hukum adat.
3. LEKO' atau ALU' = KALU = ERANG-ERANG = TIWI-TIWI, artinya bawaan atau seserahan. dalam bahasa Bugis Bone disebut Passuro yang dihantarkan sewaktu hari pelaksanaan akad nikah.

4. ACCATAKENG, artinya pencatatan nikah pada penghulu (KUA) dan termasuk biayanya.
5. PAKEANG BOTTING, artinya busana pengantin yang akan disepakati.
6. TONANGENNA, artinya kendaraan yang dibutuhkan dari kedua belah pihak.
7. TANRA ESSONA, artinya pelaksanaan hari "H" mencakup :
a. Mappaenre' Botting, artinya mengantar calon pengantin laki-laki ke rumah calon pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah.
b. Akkalabinengenna, artinya akad nikah.
c. Mapparola, artinya  sesudah akad nikah, pengantin perempuan bersama pengantin laki-laki diantar ke rumah pengantin laki-laki.
d. Aggaukeng, artinya pelaksanaan pesta atau resepsi dari kedua belah pihak.
V. Kegiatan selanjutnya dari masing-masing pihak sesuai kemampuan misalnya :
1.  MASSARAPO = MABBARUGA, artinya tempat pelaksanaan pesta disiapkan.
2. MAPPALETTU' SELLENG = MATTAMPA, artinya menyampaikan undangan kepada handai taulan dan kerabat lainnya.
3. Kedua calon pengantin sangat dibatasi lingkup geraknya demi menghindari hal-hal yang tidak diharapkan. Dalam istilah bahasa Bugis Bone disebut RAPO-RAPONNA
4. Khusus calon pengantin perempuan disebut RIPALLEKKE atau RIPASSOBBU, artinya dipingit ditempatkan pada suatu kamar khusus. Nanti muncul setelah 5 atau 3 hari sebelum akad nikah.

5. Selama dipingit sampai hari pelaksanaan akad nikah, banyak acara ritual yang masing-masing punya makna atau simbol, dalam bahasa Arab disebut TAFAUL dan dalam bahasa Bugis disebut SENNU-SENNUANG atau SENNU-SENNUENGENG, antara lain :
a. Mabbedda' Bolong, artinya memakai bedak hitam dari beras yang sudah disangrai atau digoreng sampai hangus tanpa minyak dan ditumbuk bersama bangle sampai halus. Untuk pemakainannya dicampur dengar jeruk nipis, baru dioleskan kebagian anggota tubuh utamanya wajah, lengan, kaki, dan lainnya, dibiarkan sampai kering dan lengket betul. Hal ini persiapan untuk mandi sebagai lulur.
b. Ripasau, artinya mandi uap.
c. Cemme Passili, artinya mandi tolak bala (cemme tula' bala).
d. Macceko, artinya membuka atau mencukur bulu-bulu halus pada bagian tertentu, untuk memuluskan kulit utamanya wajah sebelum acara Tudang Penni (Malam Pacar).
e. Tudang Penni atau malam pacar pada umumnya dilaksanakan seperti : khatam Al-Qur’an, Barzanji, Mappacci dan kegiatan lainnya sampai pagi. Kegiatan ini persiapan untuk menunggu calon pengantin pria dalam pelaksanaan akad nikah esok harinya.

VI. Pelaksanaan akad nikah dalam bahasa Bugis Akkalaibinengeng  atau Appasialang, sebagai acara puncak yang sakral, dengan resminya menjadi pasangan suami-isteri. Sebelum acara akad nikah dan sesudahnya, masih banyak acara yang perlu dilaksanakan dari kedua belah pihak, seperti :
1. Pihak perempuan lebih awal mempersiapkan segala sesuatunya menunggu kedatangan rombongan dari pihak laki-laki dalam bahasa Bugis disebut Madduppa Botting.
2. Pihak laki-laki juga demikian halnya, untuk menuju kediaman calon pengantin perempuan lengkap dengan bawaannya yang disebut Leko' serta Walasuji dan maharnya diantar oleh sanak saudara, handai taulan, kerabat keluarga bahkan pinisepuh/sesepuh. Rombongan tersebut  dalam bahasa Bugis disebut Pampawa Botting/Pattiwi Botting atau Pappapenning.
3. Sesudah pelaksanaan akad nikah ada pula acara yang disebut Mappasiluka atau Mappasikarawa artinya membatalkan wudhu yakni pengantin pria menuju kamar pengantin wanita (isterinya) untuk bersalaman sebagai pertanda sudah sahnya hubungan mereka sebagai suami-isteri. Pada saat inilah Inang Botting/Indo’ Botting dari pihak perempuan dan " Amang Botting/Ambe’ Botting dari pihak laki-laki menggunakan baca-bacanya atau mantra, agar pasangan ini dapat menjadi pasangan yang sakinah, mawaddah, warohmah.
4. Sesudah acara tersebut, pasangan pengantin keluar dari kamar selanjutnya menemui orang tua/pinisepuh untuk menyampaikan permohonan maafnya, memohon doa restunya agar segala kesalahan, dosa, dan kedurhakaannya dimaafkan agar mereka dapat hidup bahagia, sejahtera, aman, dan damai dunia-akhirat. Dalam bahasa Bugis disebut Mellau Addampeng, dalam bahasa Jawa disebut Sungkeman.
5. Sesudah acara tersebut, keduanya diantar menuju baruga untuk duduk bersanding di atas pelaminan yang disaksikan para tamu undangan yang hadir.
6. Setelah rombongan atau pengantar pengantin pria sudah pulang, maka dari pihak wanita mempersiapkan rombongannya untuk mengantar pengantin wanita bersama pengantin pria, sebagai umpan balik sekaligus pengantin wanita menemui mertuanya/pinisepuh dari pihak pria. Kegiatan ini disebut Mapparola sekaligus Mammatowa dalam bahasa Bugis. Kegiatan ini dapat dilakukan apabila jarak tempat keduanya berdekatan karena acara pesta atau Aggaukeng dari pihak perempuan dilaksanakan pada malam harinya (pada hari tersebut). Adapun kalau tempat berjauhan maka pada hari itu belum dilaksanakan acara Mapparola, nanti esok harinya dilaksanakan, maka acara ini disebut Marola-Mabbenni untuk pertama kalinya.
7. Waktu pelaksanaan Marola, maka acara pesta dari pihak pria baru dilaksanakan.
8. Setelah keduanya telah melaksanakan pesta, maka pasangan suami isteri ini dapat dikatakan mandiri. Dalam bahasa Bugis disebut Nalaowwanni Alena. Namun masih ada kegiatan-kegiatan yang perlu dilalui seperti :
a. Marola Wekkadua, artinya pengantin perempuan diantar oleh dua atau tiga orang perempuan untuk bersama-sama ke rumah pengantin laki-laki dengan pakaian biasa dan bermalam satu malam. Pada subuh harinya, pengantin bersama pengantarnya kembali sesudah sarapan. Maka pada saat itu mertua pengantin wanita memberikan hadiah kepada menantunya.
b. Ada pula yang disebut acara MAPPITU dari pihak laki-laki, yaitu tujuh orang wanita tua berbaju Ponco' atau Waju Tokko' dalam bahasa Bugis dan dalam bahasa Makassar disebut Baju Bodo bersama tiga orang tua lainnya, datang ke rumah pengantin wanita dengan membawa kue-kue adat seperti : dodoro', baje, beppa pute, beppa laiyya, cucuru' tenne, dan lain-lain. Kedatangan tersebut dimaksudkan silaturahim dalam membina kerukunan keluarga yang dalam bahasa Bugis disebut Massita Baiseng.
c. Mabbarazanji yang dimulai keluarga wanita kemudian disusul oleh keluarga pihak pria. Ini sebagai pertanda rasa syukur atas terlaksananya apa yang diharapkan. Pada acara ini, pengantin bisa bermalam bisa juga tidak. Dan pada saat itu pula dilaksanakan suatu kegiatan yang lazim disebut Malluka Sarapo.
d. Poleang Punge', artinya setelah acara Mabbarazanji dilaksanakan, maka subuh esok harinya, pengantin pria kembali ke rumahnya untuk mengambil seperti: Gula Merah (manis), Kelapa (gurih), dan Telur (bulat/menyatu). Hal ini dimaksudkan sebagai simbol atau Tafaul atau Sennu-sennuang. Agar semoga kehidupannya kelak serba berkecukupan, yang dalam bahasa Bugis mengatakan Tennapodo Macenning Malunra' Atuwong-tuwong Linona dan senantiasa menyatu. Barang tersebut diteruskan ke pangkuan sang isteri sebagai symbol penghasilan pertama dari suami (Poleang Punge') dan langsung disimpan oleh sang isteri.
e. Selanjutnya ziarah kubur dan mandi-mandi. Sebenarnya prosesi ini tidak masuk dalam rangkaian inti acara pernikahan adat Bugis, namun menjadi kebiasaan bagi mereka yang telah melaksanakan hajat besar seperti pernikahan, untuk menyiarahi makam leluhur atau keluarga yang telah mendahuluinya.


Demikian rangkaian pokok dalam prosesi pernikahan Adat Bugis. Selanjutnya kami akan paparkan tata bahasa atau ungkapan dalam bahasa Bugis pada waktu melamar dari pihak laki-laki dan ungkapan dari pihak perempuan. (Red A.M)

0 comments: