Tulisan Baru

Saturday, 14 April 2012

Haasibuu Anfusakum


Pagi mentari bersinar terang dari ujung timur sana
Ku melihat begitu indahnya dunia yang engkau ciptakan
Waktu terus berjalan dan kakiku tersandung di batuan kecil
Tak sadar kata mengumpat melupakan nikmat indah dunia

Ternyata ku belum bisa bersyukur padaMu
Ternyata masih picik pandang pikirku
Ternyata sedikit coba ku telah kufur nikmatMu
Padahal nikmat itu belum Kau cabut

Bagaimana jika nikmat itu Kau cabut
Bisa jadi ku bukan hanya mengumpat sajalah
Bisa jadi lebih dari itu

Ataukah aku memang tak bisa syukur nikmatMu
Wahai manusia hina, renungkanlah nikmatNYA , berkata ku dalam hati

Itu baru mengumpat, bisik sayup terdengar di telinga
Tidak , berontak hatiku
Engkau syaitan yang menggoda ku

Tak tau malu aku telah begitu banyak mengingkari nikmatNYA
Tak tau malu berbuat dosa-dosa
Padahal Dia Maha Melihat dan tak pernah tertidur

Mungkinkah ku bisa menatapNYA

Dan berkata aku hambaNYA yang baik
Atau mungkin ku hanya akan tertunduk seperti hinanya tumpukan sampah di jalanan
Atau mungkin ku hanya seperti dedaunan yang diterpa angin dan terlupakan

Wahai jiwa ini

Tersadarlah walau hanya sebentar waktu yang tersisa
Siapa menjamin esok kau melihat mentari lagi
Siapa menjamin esok masih kau bisa tertawa
Siapa menjamin esok masih ada nafas


Yang baik kau dapat
Belum tentu baik untukmu
Yang buruk kau dapat
Belum tentu buruk untukmu
Nikmat adalah bersyukur dikala apapun
Bersyukur dikala baik dan buruk

0 comments:

Reproduksi Budaya Bugis


Kabupaten Bone bukan hanya sekedar kabupaten yang berada sebelah timur kota Makassar secara geografis, namun sebagai pusat peradaban di zamannya. Tulisan lontara menjadi salah satu bukti eksistensi dari peradaban yang terbangun. Sistem pemerintahan yang ada sebelum bangsa Indonesia dideklarasikan menunjukkan adanya keteraturan kehidupan masyarakat dalam wilayah ini.
Peradaban masa lalu yang terbangun di masanya tentunya merupakan sesuatu yang tercermin pada saat itu. Aturan yang terbangun merupakan hal yang relevan dengan kondisi kehidupan masyarakat bumi Arung Palakka ini. Banyak hal yang menjadi kebiasaan masa lalu masih dilaksanakan dengan masyarakat dewasa ini. Kebiasaan ini terbangun berdasar dengan nila-nilai budaya yang menjadi perangkat peraturan sehingga mengikat masyarakat.
Peradaban yang terbangun berkat pemikiran-pemikiran tentunya terikat dengan ruang dan waktu. Kebiasaan yang berlaku dan dilakukan pada masa lalu belum tentu sesuai dengan konteks kekinian. Hal ini kita bisa lihat pada lapisan sosial misalnya, masyarakat Bugis membeda-bedakan manusia menurut tinggi rendah keturunannya. Ukuran satu-satunya ialah soal darah atau keturunan sebagai unsur primair. Pembagian dalam lapisan sosial atas golongan ini merupakan satu faktor penting yang mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Dapat pula kita lihat pada kebiasaan-kebiasaan tata cara dalam pernikahan terutama pada konsep pemberian uang panae’.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba melihat pada dua kebiasaan tersebut yang dilakukan pada era kerajaan dan dalam bingkai bangsa Indonesia. Reproduksi budaya bugis yang dimaksudkan pada tulisan ini adalah melihat atau mencernah kembali kebiasaan-kebiasaan yang terbangun di masa lalu dengan membandingkan kondisi yang ada saat ini pada budaya Bugis Bone yang harus dikritisasi berdasar dengan ruang dan waktu. Reproduksi budaya adalah istilah yang dipakai oleh penulis untuk menujukkan relevansi dan kebutuhan masyarakat saat ini.
Kebiasaan yang terbangun dengan membedakan lapisan masyarakat merupakan cerminan status sosial seseorang pada kehidupan bermasyarakat. Lapisan itu bisa dilihat pada posisi sebagai Arung, To Deceng, To Sama dan Ata. Setiap strata sosial itu bekerja dan memposisikan diri sebagaimana fungsinya.
Ditarik pada konteks kekinian, pertanyaannya kemudian adalah apakah strata sosial ini masih relevan atau tidak? Atau mungkin saja perlu untuk direproduksi? Untuk menjawabnya tentu haruslah adil.
Globalisasi menciptakan persaingan yang begitu ketat. Kemampuan yang menjadi dasar dalam mengikuti zaman ini. Tingkat pendidikan merupakan salah satu ukuran indikator yang digunakan untuk melihat itu. Bagi mereka yang memiliki pendidikan tinggi tentu mempunyai kesempatan lebih besar dalam memberi andil. Terbukanya peluang dan kesempatan bagi setiap orang untuk menempuh pendidikan semakin terbuka, yang jelas kemampuan ekonomi mumpuni, setiap masyarakat memiliki hak yang sama tanpa melihat status sosial. Kesempatan memimpin pun tidak mengharuskan dari kalangan strata sosial paling tinggi.
Era globalisasi ini telah merubah tatanan kehidupan Bugis. Status sosial yang berdasar pada keturunan berpindah pada kemampuan individu. Siapa pun dia yang memiliki kemampuan, maka berhak mengambil peran dalam masyarakat. Tidak ada lagi penentuan kekuasaan berdasar pada garis keturunan, tidak ada lagi pandangan penempatan tinggi rendah seseorang.
Pada tata cara melangsungkan pernikahan (tentu bukan pada hal yang teknis resepsi), namun hal yang menjadi perhatian penulis adalah uang panae’. Uang panae’ adalah kewajiban bagi seorang calon mempelai laki-laki. Uang panae’ ini merupakan serahan dibayarkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dengan jumlah nominal tertentu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Makanya tidaklah mengherankan bagi beberapa kalangan pria menjadikan ini sebagai momok tersendiri dalam melangsungkan niat pernikahannya. Kebiasaan ini begitu kuat dan menjadikan sebagai bentuk apresiasi di mata masyarakat. Semakin tinggi, semakin memiliki pamor dalam pandangan sosial. Olehnya itu, tidak dapat dipungkiri kalau uang panae’ ini telah menjadi gambaran keluarga dan terkesan menjadi status sosial baru.
Kalau pandangan tentang lapisan sosial sudah tidak dianggap sesuatu yang tidak relevan lagi dengan kondisi zaman, bagaimana dengan kebiasaan uang panae’ ini? Apakah hal ini sesuai dengan kondisi kekinian dan masih dianggap perlu.
Syarat mutlak dari sebuah reproduksi kebudayaan adalah pertimbangan kearifan lokal (local wisdom) dan agama. Kalau nilai lokalitas ini sesuai dengan nilai agama, maka tentu saja mesti dipertahankan. Adapun yang tidak relevan dengan nilai-nilai agama mesti dipertimbangkan untuk ditinggalkan atau direproduksi dengan sesuatu yang baru.
Agama merupakan aturan yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. Aturan agama Islam diperuntukkan untuk semua. Pertimbangan berdasarkan agama ini tentu tidak bisa kita toleran, artinya bahwa bersifat mutlak untuk diikuti. Aturan Islam yang berkaitan dengan pernikahan juga telah mengaturnya, menjadi sunnah dan mesti dipermudah. Dua hal yang dianggap penting yaitu adanya Ijab Kabul dan mengabarkan kepada orang lain.
Cara penyampaian kepada khalayak ramai umumnya dilangsungkan dengan sangat ramai. Ini menjadi sesuatu yang terkesan megah dan mewah dikalangan Bugis Bone. Dengan segala prosesi yang mesti dilalui oleh kedua belah pihak menghabiskan dana yang tidak sedikit. Prosesi pesta penikahan inilah oleh pihak perempuan menjadi tanggung jawab pihak pria.
Merujuk pada nilai agama tidaklah relevan. Ajaran agama menganjurkan untuk mempermudah salah satu ibadah sunnah ini namun oleh nilai budaya terkesan mempersulit. Demikian pula dengan jumlah nominal yang harus dikeluarkan demi berlangsungnya pesta pernikahan, terkesan hanya pemborosan.
Cukuplah adil apabila kita lihat pada sisi lokalitas, apa yang menjadi makna dari pemberian uang panae’ tersebut. Reso atau dalam bahasa Indonesia berarti usaha menjadi gambaran dari konsep uang panae’ ini. Selain material dalam nominal, ada usaha yang mesti dibayar oleh pihak pria. Hal ini juga menjadi bukti awal bahwa usaha pertanggung jawaban bagi seorang pria sebelum mengarungi pernikahan, sejalan dengan pepatah Bugis yang mengatakan bahwa reso pa temma ngingi naletei puang dewata (hanya dengan usaha keraslah dapat berkat Tuhan). Melalui uang panae’ inilah secara tidak langsung memberi motivasi bagi pria untuk bekerja. Apabila dilihat dari sudut pandang ini tentu menjadi hal yang positif.
Dengan pertimbangan diatas, membandingkan antara nilai agama dan budaya yang terbangun, rasanya akan subjektif untuk memilih mereproduksi kebiasaan ini. Asimilasi antara agama dan budaya dalam masyarakat Bugis adalah mutlak dan beriringan. Harapku hanya komunikasi dalam kesepakatan besaran uang panae’ berdasar pada kebutuhan kedua belah pihak bukan karena pamoritas dalam pandangan orang lain.
Tulisan ini ku coba tulis di waktu luang setelah diskusi di asrama arung palakka Yogyakarta dengan tema rekonstruksi budaya sulawesi
Di tulis Oleh Adnan Achiruddin Saleh
Dirgahayu Bone ku

0 comments:

Diskusi Jurnalistik



Malam kemaren tepatnya malam jumat (05 April 2012), diskusi rutin yang diadakan di komunitas yaitu FKMB-Y ,mengangkat sebuah tema yaitu jurnalistik, sungguh menarik bagi kami dengan tema yang diusung oleh sahabat-sahabat apalagi melihat sekarang fenomena media baik cetak,online,televisi, dengan pemberitaan yang semakin menarik dengan dikemas dengan bingkai sajian yang cukup menghipnotis para pemburu berita.
Ternyata jurnalisme itu berasal dari kata journal  artinya catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti suratkabar. Journal  berasal dari istilah bahasa Latindiurnalis  yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik.
Disamping berita yang dipilih oleh seorang jurnalis itu memilki 2 kategori yaitu Penting & Menarik. 2 objek inilah yang menjadi pertimbangan bagi seorang jurnalis untuk meliput berita. disamping itu ada beberapa persyaratan yang harus ditekankan oleh seorang jurnalis yaitu akurasi berita yang akan di publishkan.
Diskusi semakin menarik dengan dibukanya sesi pertanyaan,teryata menjadi seorang jurnalis itu butuh kemampuan yang memadahi dengan apa yang akan kita liput, agar apa yang kita publish betul-betul dapat dipertanggung jawabkan akurasi beritaNya. Namun yang menarik lagi persfektiive yang berbeda dilontarkan oleh salah seorang peserta diskusi (kanda Tabba'e) yang mengutarakan bahwa yang terjadi pada dunia media kita sekarang sudah tidak adalagi indefendensi dari media bahkan media cendrung sebagai industri yang masih dipertanyakan idealismenya. Bukankah media itu harus berdiri ditengah-tengah tanpa haus ada interpretasi dari berbagai pihak. 
Menjadi soerang Jurnalis memang harus memahami kode etik jurnalis, layaknya seorang dokter yang harus mengetahui dan menjalankan kode etik seorang dokter, sehingga tidak terjadi hal-hal yang merugikan baik dari jurnalis maupun yang menjadi objek pemberitaan.
Dewasa ini muncul beberapa kategori wartawan ada wartawan bodrex dll, menarik khan besok-besok mungkin akan ada wartawan inza.
Tidak terasa diskusi berjalan lebih kurang 2 jam setengah dan diskusi yang dihadiri lebih kurang 20 peserta dengan pembicara Bapak Ernal yang merupakan jurnalis RRI jogja serta Dosen di beberapa kampus di Jogja. terakhir menjadi seorang jurnalis itu ternyata menarik.

0 comments: