Tulisan Baru

Monday, 1 April 2013

Situs Sejarah Bugis Bone





Situs Sejarah Bugis Bone merupakan lokasi atau tempat yang menjadi sejarah bagi rakyat Bugis Bone dan juga menjadi bagian tempat sejarah negara Indonesia. Lokasinya disekitar Watampone Kabupaten Bone Sulawesi Selatan.

Bugis merupakan suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atauorang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Kerajaan Bugis klasik antara lain
Luwu,
Bone,
Wajo,
Soppeng,
Suppa,
Sawitto,
Sidenreng,
Rappang.
Situs Sejarah Bugis Bone

Bola Soba dan Bola Ade Pitue (?) (Rumah Adat) Bone
Rumah yang berbentuk panggung dan biasanya memiliki 3 bagian yaitu bagian atas, tengah dan bawah. RUmah ini menjadi inspirasi bagi pembangunan Rumah Besar (Saoraja). Bagian atas untuk menyimpan (lumbung) padi/makanan. Tempat tinggal ada di bagian tengah. Sejak jaman Belanda sudah jarang dibangun Rumah Adat Bone dengan kayu, lebih banyak dari semen. Sekarang masih tersisa di daerah Watampone.

Situs Perjanjian Tellu (Telu) Boccoi
Tempat perjanjian Raja Bone, Raja Wajo dan Raja Soppeng. Bunyi perjanjian itu "Barang siapa pihak kerajaan yang melihat cahaya titik cahaya terang, maka kerajaan itu yang berhak memberitahu saudara-saudaranya yang berjanji". Inilah kesepakatan ketiga kerajaan itu dalam menghadapi musuh-musuh yang ingin menghancurkan daerah tersebut. Mereka bekerjasama, sebuah perjanjian suci untuk saling bahu-membahu menghadapi musuh.

Patung Arung Palakka
Raja pemersatu rakyat Bugis dan wilayah Sulawesi, gagah berani dan mempunyai sifat terpuji. Pahlawan Bone, Pahlawan Kemanusiaan. Arung Palakka yang mengeluarkan masyarakat Bone dari garis kemiskinan dan tindasan kerajaan lain.

Masjid Tua Al-Mujahidin Watampone
Merupakan salah satu jejak Islam di Tanah Bone. Berada di tengah-tengah kota Watampone. Mesjid ini masih asli dan merupakan salah satu dari jejak Islam di Sulawesi. Memiliki sebuah tembok pertahanan dengan tebal sekitar 1 meter.

Makam Raja-raja Bone
Makam Raja Bone ke 13 dan 21 Kalokkoe berada di belakang Mesjid Tua Al-Mujahidin. Makam Raja Bone memang tersebar di Lalebata, Naga Ulun, Luwu, Bukaka, Bantaeng, Makassar, bahkan ada di Tanah Kalibata.

Kawasan Tanah Bangkalae
Dahulu kerajaan di tanah Sulawesi sering terjadi selisih paham semisal antara Kerajaan Goa, Kerajaan Bone, dan Kerajaan Luwu. Untuk mempersatukannya dibentuklah simbol pemersatu ketiga kerajaan itu. Tanah Bangkalae itu merupakan penyatuan tanah dari 3 kerajaan tersebut dengan tujuan agar ke-3 kerajaan tersebut bersatu. Menjadi tempat pelantikan raja yang dimulai dari Raja Bone saat itu yaitu Raja Bone ke 16. Tanah Bangkalae adalah tanah tempat pelantikan raja, berwarna kemerah-merahan, dan dianggap sebagai Tanah Dewa.

Situs Manurunge (To Manurung yang dikenal Manurungnge ri Matajang atau Mata Silompoe)
Disinilah tempat terjadi kontrak pemerintah Rakyat Bone (Tujuh raja-raja kecil) dengan Manurung E.rimatajang Raja Bone Pertama pada tanggal 16 April 1330 dan menjadi hari lahirnya Kabupaten Bone. Berada di lokasi Kecamatan Tanete Riatan. Manurung merupakan manusia suci yang turun dari langit. Manurunge adalah pemersatu rakyat yang bertikai saat itu (matoa-mata) ke dalam Kerajaan Bone. Raja Manurung E.ri sebenarnya tidak diketahui asal usulnya sehingga di gelar Manusia Suci yang Turun dari Langit.

Berkata rakyat Tana Bone,

"agar menetaplah di Tanah Bone dan engkau yang kami angkat menjadi raja untuk memimpin kami, namun anak dan istri kami, bila engkau tidak menyetujuinya, kamipun menurut kepadamu, asalkan engkau
.... keselamatan kami dan ....."

Maaf tulisan tidak lengkap

Dan berkata Manurung E.ri,
"Saya menjunjung tinggi di atas kepala saya dan menghargai kata-kata dan persatuanmu untuk mengangkat saya menjadi raja."

Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge ri Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah ade pitue. Manurungnge ri Matajang dikenal juga dengan nama Mata Silompoe. Adapun ade' pitue terdiri dari matoa ta, matoa tibojong, matoa tanete riattang, matoa tanete riawang, matoa macege, matoa ponceng. istilah matoa kemudian menjadi arung. setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone dipimpin oleh putranya yaitu La Ummasa' Petta Panre Bessie. Kemudian kemanakan La Ummasa' anak dari adiknya yang menikah raja Palakka lahirlah La Saliyu Kerrempelua. pada masa Arumpone (gelar raja bone) ketiga ini, secara massif Bone semakin memperluas wilayahnya ke utara, selatan dan barat

Soraja Petta Panggawae
Rumah Besar Bola Soba bertingkat 5 milik seorang raja Bone untuk panglimanya. Rumah ini adalah Istana Panglima Perang Bone dengan atap bertingkat 4, sedangkan rumah Raja memiliki atap bertingkat 5. Sekarang menjadi tempat pelestarian budaya Bugis Bone.

Museum Lapawawoi Saoraja
Merupakan rumah Raja Bone ke-31, Andi Mapparinggi bergelar LAWAWOWOI KARAENG SIGERI MATINROE RI BANDUNG, yang dijadikan sebagian rumahnya dijadikan museum Bugis Bone. Museum ini menjadi tempat penyimpanan benda-benda seni dan budaya tradisional Bugis Bone. Dahulunya pernah menjadi gedung DPRD Kabupaten Bone. Menyimpan gambar raja-raja Bone dan benda-benda duplikat upacara adat istiadat Bone.

Museum Arajang
Menyimpan benda-benda milik Arung Palakka yang juga merupakan benda-benda pusaka seperti Payung Emas, Payung Perak, Sarung dan Pegangan, serta Selempang/Salimpang Emas (Sembangengpulaweng) yang panjangnya 177 cm dengan berat 5 kg emas murni 24 karat. Setiap tahunnya dilakukan pembersihan benda-benda bersejarah dan sakral tersebut.Museum ini dibuka setahun sekali pada hari jadi Tanah Bone mengingat banyak benda bersejarah yang sangat perlu dilindungi.
DAFTAR RAJA-RAJA BONE
1.             MANURUNGNGE RIMATAJANG MATASILOMPOE (1330 - 1365)
2.             LA UMMASA PETTA PANRE BESSIE (1365 - 1368)
3.             LA SALIU KERANG PELUA (1368 - 1470)
4.             WE BENRIGAU MALLAJANGNGE RI CINA (1470 - 1510)
5.             LA TENRI SUKKI MAPPAJUNGE (1510 - 1535)
6.             LA ULIO BOTOE MATINROE RI ITTERUNG (1535 - 1560)
7.             LA TENRI RAWE BONGKANGE MATINROE RI GUCINNA (1560 - 1564)
8.             LA ICCA MATINROE RI ADDENENNA (1564 - 1565)
9.             LA PATTAWE MATINROE RI BETTUNG (1565 - 1602)
10.          LA TENRI TUPPU MATINROE RI SIDENRENG (1602 - 1611)
11.          LA TENRI RUWA SULTAN ADAM MATINROE RI BANTAENG (1611 - 1616)
12.          LA TENRI PALE MATINROE RI RI TALLO (1616 - 1631)
13.          LA MADDAREMMENG MATINROE RI BUKAKA (1631 - 1644)
14.          LA TENRI WAJI ARUNG AWANG MATINROE RI SIANG ( PANGKEP) (1644 - 1645)
15.          LA TENRI TATTA DAENG SERANG MALAMPEE GEMMENA ARUNG PALAKKA (1645 - 1696)
16.          LA PATAU MATANNA TIKKA MATINROE RI NAGAULENG (1696 - 1714)
17.          BATARI TOJA SULTAN SAINAB SAKIYATUDDING (1714 - 1715)
18.          LA PADASSAJATI TO APPAWARE SULTAN SULAEMAN PETTA RI JALLOE (1715 - 1718)
19.          LA PAREPPA TO SAPPEWALI SULTAN ISMAIL MATINROE RI SOMBA OPU (1718 - 1721)
20.          LA PANAONGI TO PAWAWOI ARUNG MAMPU KARAENG BISEI (1721 - 1724)
21.          BATARI TOJA DATU TALAGA ARUNG TIMURUNG (1724 - 1749)
22.       LA TEMMASSONGE TO APPAWALI SULTAN ABDUL RAZAK MATINROE RI MALIMONGENG (1749 - 1775)
23.          LA TENRI TAPPU SULTAN ACHMAD SALEH MATINROE RI ROMPEGADING (1775 - 1812)
24.          TO APPATUNRU SULTAN ISMAIL MUHTAJUDDIN MATINROE RI LALENG BATA (1812 - 1823)
25.          I MANI RATU ARUNG DATA SULTAN RAJITUDDIN MATINROE RI KESSI (1823 - 1835)
26.          LA MAPPASELING SULTAN ADAM NAJAMUDDIN MATINROE RI SALASSANA (1835 - 1845)
27.         LA PARENRENGI SULTAN AKHMAD MUHIDDIN ARUNG PUGI MATINROE RI AJANG BENTENG (1845 - 1857)
28.    WE TENRI WARU SULTANAH UMMULHUDA PANCAITANAH, BESSE KAJUARA PELAINGI PASEMPE (1857 - 1860)
29.          ACHMAD SINGKERUKKA SULTAN ACHMAD IDRIS MATINROE RI PACCING (1860 - 1871)
30.          FATIMA BANRI DATU CITTA MATINROE RI BOLAMPARENA (1871 - 1895)
31.          LAWAWOWOI KARAENG SIGERI MATINROE RI BANDUNG (1895 - 1905)
32.          LAMAPPANYUKKI SULTAN IBRAHIM MATINROE RI GOWA (1931 - 1946)

0 comments:

Arung Palakka


Radja Palacca De KoningH Der Bougies inilah gelar yang diberikan kepadanya. Nama yang akrab kita dengan Arung Pallakka beliau adalah Raja Bone ke-15 lahir pada 15 September 1634. Nama lengkapnya adalah Arung Palakka La Tenri Tatta Petta  Malampee Gemme’na. Dalam sejarah Sulawesi Selatan di abad ke-17, khususnya dalam perang Makassar nama Latenri Tatta Arung


Palakka tidak dapat dipisahkan. Menurut Mr. Strotenbekker, seorang sejarawan Belanda dalam bukunya tertulis silsilah yang menyatakan, bahwa Datu Soppeng ri Lau yang bernama Lamakkarodda Mabbelluwa’E kawin dengan We Tenri Pakku Putri raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E MatinroE ri Itterung.



Dari perkawinan ini lahir seorang putri yang bernama We Suji Lebba’E ri Mario. We Suji Lebba’E kawin dengan Raja Bone ke-11 Latenri Rua Sultan Adam matinroE ri Bantaeng, Raja Bone yang pertama kali memeluk agama Islam. Dari perkawinan itu lahir seorang putranya yang bernama We Tenri Sui’ Datu Mario ri  Wawo. We Tenri Sui’ kawin dengan seorang bangsawan Soppeng yang bernama Pattobune. Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga. Dari perkawinan itu lahir :
1.Da Unggu (putri)
2.Latenri Tatta Arung Palakka (putra)
3.Latenri Girang (putra)
4.We Kacumpurang Da Ompo (putri)
5.Da Emba (putri), dan
6.Da Umpi Mappolobombang (putri)



Jadi Latenri Tatta Arung Palakka adalah bangsawan Bone dan Soppeng, cucu dari Raja Bone ke-11 La Tenriruwa La Pottobune bertempat di Lamatta di daerah Mario ri Wawo dalam wilayah kerajaan Soppeng. Dari enam orang anak La Pottobune Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga dengan isterinya We Tenri Sui Datu Mario ri Ase, ada dua orang diantaranya yang menjadi pelaku sejarah Bone di abad ke-17 yaitu :
1.La Tenri Tatta Daeng Serang yang memimpin peperangan melawan kekuasaan Gowa, dan
2.We Mappolobombang yang melahirkan Lapatau matanna Tikka Raja Bone ke-16



Oleh karena itu La Tenri Tatta Arung Palakka tidak mempunyai anak, sekalipun istrinya (I Mangkau Daeng Talele) sangat mengharapkannya, maka ia mengangkat keponakannya yang bernama La Patau menjadi raja Bone ke-16 dengan gelar Sultan Alamuddin Petta MatinroE ri Nagauleng. Arung Palakka, diantara bangsawan-bangsawan Bone dan Soppeng yang diasingkan dari negerinya, setelah Baginda La Tenri Aji kalah dalam pertempuran di Pasempe pada tahun 1646, terdapat Arung Tana Tengnga La Pottobune dan ayahnya, yaitu Arung Tana Tengnga Tua Wilayah kepangeranan Tana Tengnga terletak di tepi sungai WalenneE berdekatan dengan Lompulle dan bernaung di bawah daulat Kerajaan Soppeng. Dalam pengasingan itu La Pottobune membawa serta istrinya, We Tenri Sui Datu



Mario ri Wawo dan putranya La Tenri Tatta yang baru berusia sebelas tahun. Ada lagi empat anak perempuannya, akan tetapi mereka itu ditinggalkan dan dititipkan pada sanak keluarganya di Soppeng, karena takut jika mereka akan mendapat cedera dalam pengasingannya. Mereka itu ialah :
1.We Mappolobombang, yang kemudian menjadi Maddanreng Palakka dan menikah dengan Arungpugi atau Arung Timurung La PakkokoE Towangkone, putra Raja Bone La Maddaremmeng
2.We Tenrigirang, yang kemudian bergelar Datu Marimari dan kawin dengan Addatuang To dani, Raja dari lima Ajangtappareng (Sidenreng Rappang, Alitta, Sawitto, dan Suppa);
3.Da Eba, yang kemudian menikah dengan Datu Tanete Sultan Ismail La Mappajanci;
4. Da Ompo



Adapun We Tenri Sui adalah anak Sultan Adam La Tenri Ruwa, Raja Bone ke-11 yang wafat dalam pengasingan di Bantaeng, karena ia lebih memilih memeluk agama Islam dari pada tahta Kerajaan Bone. Dat We Tenri Sui memberikan pula gelaran Datu Mario ri wawo kepada La Tenri Tatta. Dengan gelaran itulah pangerang ini terkenal sehingga ia diakui oleh Aruppitu dan rakyat Bone sebagai Arung Palakka. Suatu kedudukan dan gelaran yang menurut adat telah diberikan kepada pangerang yang terdekat dari tahta Kerajaan Bone. Pengakuan yang menjadikannya orang pertama diantara semua bangsawan bone itu, diperolehnya dalam tahun 1660, menjelang perang kemerdekaan melawan Gowa, di mana ia memegang peranan terpenting di samping To Bala.



Situasi Tahun 1646



Apabila dikembalikan ke situasi 1646, maka sekilas dapat digambarkan sebagai berikut:



Tawanan-tawanan perang orang Bone dan Soppeng kebanyakan diangkut ke Gowa, di mana mereka dibagi-bagi ke antara bangsawan-angsawan Gowa. Arung Tana tengnga dan keluarganya jatuh ke tangan Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang. Ia adalah seorang yang terkenal budiman dan berpengetahuan luas. Para tawanannya diperlakukan dengan remah-remah. La Tenritatta dijadikannya Pembawa



Puan. Karena tugas itu, maka Pangeran selalu ada di dekat beliau, sehingga tidak sedikit ia mendapat didikan dan ilmu pengetahuan dari ucapan-ucapan serta sikap sehari-hari dari pengendali kemaharajaan Gowa yang termasyhur sangat pandai dan bijaksana itu. Ia juga disegani oleh setiap kawan dan lawannya. Di kalangan para pemuda bangsawan Gowa, La Tenritatta terkenal dengan nama Daeng Serang. Dengan mereka itu ia berlatih main tombak, kelewang, pencak silat, raga,dan berbagai permainan olah raga lainnya. Dalam pertandingan-pertandingan tidak jarang Daeng Serang menjadi juara. Konon dalam permainan raga tigak ada tandingannya di masa itu.



Menurut berita, roman muka dan fisiknya sangatlah menarik dan mengesankan ; dahinya tinggi, hidungnya mancung, matanya tajam menawan, dagunya tajam alamat berkemauan keras. Tubuhnya semampai, berisi, dan kekar.



Rupanya Karaeng Pattingalloang sayang dan bangga akan pramubaktinya yang bangsawan, gagah dan cerdas itu. Karaeng Serang dibiarkannya bergaul dengan pemuda-pemuda lainnya bagaikan kawan sederajat dengan pemuda-pemuda bangsawan Gowa. Bahkan diperkenalkannya kepada Sultan. Datu Mar alias Daeng Serang telah menjadi buah tutur di antara bangsawan-bangsawan muda dan rakyat ibukota Kerajaan Gowa.



Sayang bagi keluarga Arung Tana Tengnga, Karaeng Pattingalloang lekas wafat yaitu pada tanggal 15 September 1654. Merekapun berganti tuan, yaitu berpindah ke tangan Karaeng Karungrung, yang menggantikan ayahnya sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa. Dia ini terkenal sebagai seorang yang sangat keras tabitnya, tidak seperti ayahnya yang halus budi bahasanya dan baik hati sesamanya manusia.



Pada waktu itu Datu Mario telah menjelang 20 tahun usianya. Ia telah dewasa. Akibat perlakuan tuan barunya yang jauh berbeda dengan ayahnya yang telah meninggal, disadarinya dengan pahit akan kedudukannya sekeluarga sebagai tawanan perang yang pada hakekatnya tidaklah berbeda dengan kedudukan budak. Mereka tidak bebas kemana-mana, harus melakukan segala kehendak tuannya, makan minumnya tergantung daripadanya, nasibnya terserah sepenuhnya kepada balas kasihan atau kesewenang-wenangan tuannya itu.



Mengenai tawanan-tawanan lain, diantaranya terdapat beberapa orang dari Soppeng seperti Arung Bila Daeng Mabela, Arung Belo To Sade, dan Arung Appanang. Nasib beliau itu tidaklah lebih baik dari Datu Mario. Sejak semula mereka menginjakkan kaki di bumi Gowa, mereka mengalami perlakuan-perlakuan yang pahit. Tidaklah heran kalau mereka itu setiap saat memanjatkan doa, agar tanah air mereka segera merdeka kembali dan mereka dapat pulang kembali ke Bone bersatu dengan sanak keluarganya.



Dalam pada itu rakyat Bone sendiri merintih, tertindih di bawah berbagi macam beban yang ditimpakan oleh Kerajaan Gowa di atas kepala mereka. Jennang To Bala tidaklah sanggup membela mereka itu. Oleh karena itu di sinipun rakyat sedang mengimpikan turunnya seorang malaikat kemerdekaan yang akan segera melepaskan mereka dari penderitaan perbudakan tahun 1660.



Pada pertengahan tahun itu Jennang To Bala mendapat perintah dari Karaeng Karungrung, supaya secepat mungkin mengumpulkan sepuluh ribu orang laki-laki untuk dibawa segera ke Gowa menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan, di sepanjang pantai di sekitar ibukota Somba Opu. To Bala sendiri diharuskan mengantar mereka itu ke Gowa.



Pada akhir bulan Juli tibalah Arung Tanete To Bala dengan sepuluh ribu orang Bone di Gowa. Orang sebanyak itu diambilnya dari berbagai golongan, lapisan, dan umur. Ada petani, nelayan, pandai kayu, ada orang kebanyakan, budak, bahkan bangsawan, dan ada yang nampaknya masih kanak-kanak akan tetapi tidak kurang pula yang sudah putih seluruh rambutnya serta sudah ompong. To Bala tidaklah sempat lagi memilih hanya orang-orang yang kuat saja, atau mereka yang sedang menganggur saja, atau pun hanya orang kebanyakan dan hamba sahaya.



Mereka membawa bekal, pacul atau linggis sendiri. Banyak di antara mereka itu yang sakit ketika tiba di Gowa, terutama yang masih kanak-kanak atau yang sudah terlalu tua. Mereka tidak tahan melakukan perjalanan ratusan kilometer jauhnya, naik gunung, turun gunung, masuk hutan, keluar hutan. Banyak yang berangkat dengan bekal yang tidak cukup karena tidak ada waktu untuk mempersiapkannya. Mereka diambil paksa dari tempat pekerjaannya dan dari anak istri atau orang tuanya.



Datu Mario dan tawanan-tawanan perang Bone lainnya yang kesemuanya orang-orang bangsawan mengetahui akan hal itu. Banyak di antara mereka yang datang untuk menengok orang-orang senegerinya itu ketika mereka baru tiba. Malahan Datu Mario sering mengawal Karaeng Karungrung, apabial mereka pergi memeriksa kemajuan  pekerjaan menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan itu.



Iba hati pangerang itu melihat penderitaan orang-orang senegerinya. Mereka bekerja dari pagi sampai petang, hanya berhenti sedikit untuk makan tengah hari dari bekal mereka yang terdiri dari nasi jagung dan serbuk ikan kering yang lebih banyak garam dari pada ikannya. Sungguh sangat menyedihkan mereka itu. Apalagi waktu itu musim kemarau, panas terik bukan kepalang di tepi pantai. Celakalah barang siapa yang dianggap malas. Mereka didera dengan cambuk oleh mandor-mandor yang tidak mengenalperikemanusiaan. Orang-orang yang dikhawatirkan akan membangkang, kakinya dibelenggu (risakkala).



Karena pekerjaan yang telampau berat itu, sedang makanan amat kurang, lagi pula obat-obatan tidak ada, banyaklah di antara pekerja-pekerja itu yang jatuh sakit. Kebanyakan yang sakit tidak sembuh lagi. Mereka mati jauh dari anak istri dan ibu bapak mereka. Tidaklah mengherankan, kalau di antara para pekerja yang malang itu ada yang berusaha melarikan diri. Maka celakalah apabila ia tertangkap kembali. Ia didera setengah mati, lalu disuruh bekerja dengan kaki terbelenggu (risakkala) untuk waktu yang lama. Akan tetapi tidak tahan dengan penderitaan, maka banyaklah pekerja yang melarikan diri. Mangkubumi Karaeng Karungrung amat murka akan hal itu. Beliau berkehendak, supaya parit-parit pertahanan di sekitar Somba Opu, Jumpandang dan Panakkukang serta kubu-kubu pertahanan sepanjang pantai selesai November. Untuk mengganti pelarian-pelarian yang tidak tertangkap kembali, maka diperintahkannya semua tahanan perang pria yang ada di ibukota ikut serta pada pekerjaan itu. Datu Mario dan bangsawan-bangsawan lain, baik yang dari Bone maupun yang dari Soppeng turut menggali dan mengangkat tanah pada setiap harinya. Ayah Datu Mario, karena sudah terlalu tua dan sering sakit-sakitan dibebaskan dari pekerjaan fisik yang amat berat itu. Pada suatu hari diawal bulan September 1660 itu, Datu Mario pulang dari menggali parit, didapati ayahnya meninggal. Beliau dikatakan telah dibunuh pada pagi hari itu dengan sangat kejam, karena ia mengamuk di hadapan Sri Sultan, disebabkan karena bermata gelap, melihat beberapa orang Bone yang disiksa sampai mati. Mereka itu adalah pelarian dari tempat penggalian parit-parit, ditangkap kembali oleh orang Gowa.



Arung Tana Tengnga Tua, Nenek Datu Mario, beberapa tahun sebelumnya telah pula meninggal dengan cara yang serupa. Menurut berita, beliaupun mengamuk di depan para pembesar Kerajaan Gowa. Beliau ditangkap lalu dibunuh dengan cara yang amat kejam pula. Datu Mario bersumpah akan menuntut balas terhadap kematian ayah dan neneknya serta sekian banyak orang Bone lainnya. Maka direncanakannya suatu pemberontakan secara besar-besaran untuk melepaskan Bone dari penjajahan dan perbudakan Gowa.



Pada suatu hari dalam pertengahan bulan September itu sementara Sultan Hasanuddin bersama dengan segala pembesar kerajaannya berpesta besar di Tallo, Datu Mario menggerakkan semua pekerja parit orang Bone yang hampir sepuluh ribu orang jumlahnya itu bersama dengan semua tawanan perang dari Bone dan Soppeng melarikan diri dari Gowa. Pelarian itu berhasil dengan gemilang di bawah pimpinan Datu Mario. Pada hari yang keempat petang mereka tiba di Lamuru, Datu Mario segera mengirimkan kurir kilat kepada Jennang To Bala dan Datu Soppeng untuk melaporkan peristiwa besar itu dan mengajaknya bertemu di Attappang dekat Mampu.





Beberapa hari kemudian bertemulah Datu Soppeng La Tenri Bali, Arung Tanete To Bala. Dan Datu Mario Latenri Tatta di Attappang. Pada pihak Datu Soppeng ikut hadir ayahnya Lamaddussila Arung mampu dan Arung Bila. Pada pihak To Bala hadir Arung Tibojong, Arung Ujung, dan sejumlah besar bangsawan Bone. Bersama Datu Mario hadir pula Daeng Mabela, Arung Belo dan Arung Appanang. Atas desakan Datu Mario dan kawan-kawannya, Datu Soppeng segera menyetujui tawaran To Bala untuk mempersatukan Bone dan Soppeng melawan Gowa. Perundingan berlangsung di suatu tempat yang netral yaitu di atas rakit sungai Attapang. Oleh sebab itu persetujuan Bone-Soppeng itu (1660) dinamai “ Pincara LopiE ri Attappang (rakit perahu di Attappang)



Setelah itu pulanglah mereka masing-masing ke negerinya. Datu Mario kembali ke Lamuru menemui laskar-laskarnya, bekas penggali-penggali parit di Gowa yang berjumlah hampir sepuluh ribu orang. Semuanya ingin memikul tombak di bawah Datu Mario untuk menyambut orang Gowa. Akan tetapi oleh Datu Mario diperintahkan yang sudah ubanan sama sekali dan yang belum dewasa harus tinggal di kampung untuk membela wanita-wanita, orang tua-tua, dan anak-anak. Para pengikut lainnya paling lambat setelah sepekan (lima hari) sudah berkumpul kembali di Mario. Menurut perhitungan Datu Mario, paling cepat sepekan lagi barulah laskar Gowa dapat berada di Lamuru. Ibu dan istrinya I Mangkawani Daeng Talele telah dibawanya ke Desa Lamatta, tempat kediaman mereka 14 tahun yang lalu sebelum diasingkan ke Gowa.



Alangkah bahagia perasaan ibunya berada kembali di negeri leluhurnya, di tengah-tengah rakyat yang mencintainya. Sayang sekali, Datu yang telah tua itu tidak lama menikmati kebahagiaan itu di dunia. Oleh Yang Maha Esa, beliau hanya diizinkan menghirup udara Lamatta sepekan lamanya. Penderitaan selama dalam pengasingan, terlebih-lebih dalam bulan yang terakhir setelah meninggal suaminya, ditambah keletihan dalam pelarian dari Bontoala ke Lamuru selama empat hari empat malam sempat juga ia menikmati berita bahagia, bahwa Aruppitu, para bangsawan dan rakyat Bone telah mengakui putranya Datu Mario sebagai Arung Palakka. Di mana ia sebagai ahli waris neneknya yakni Sultan Adam La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng.



Datu Mario yang kini mulai terkenal sebagai Arung Palakka, tidaklah dapat duduk-duduk bersantai atas kematian ibunya itu, karena telah diterimanya kabar, bahwa laskar Gowa yang berjumlah besar telah mendaki ke Camba untuk menuju Bone. Dalam dua hari kepala laskar itu sudah dapat berada di Lamuru. Dengan segera dikirimnya kurir ke Soppeng dan Bone dengan membawa berita dan meminta, supaya sebagian laskar di kirim ke Lamuru untuk menyambut laskar Gowa di tempat itu. Pada hari yang ketiga barulah laskar Gowa tiba di Lamuru. Petang harinya tiba pula laskar Soppeng hampir bersamaan dengan laskar Bone. Bersatulah mereka untuk menghadapi laskar Gowa. Kedua belah pihak sama kuat. Menurut cerita masing-masing berkekuatan kurang lebih 11.000 orang.



Raja Gowa berusaha memisahkan orang Soppeng dari orang Bone. Baginda mengirim utusan kepada Datu Soppeng dengan pesan, bahwa antara Gowa dan Soppeng tidak ada perselisihan. Janganlah hendaknya orang Soppeng mau diseret oleh orang Bone untuk masuk ke liang lahat. Peperangan ini tidak berarti mengubur diri sendiri bagi orang Bone. Akan tetapi Datu Soppeng dan Arung Bila, ayah Daeng Mabela menjawab, bahwa Soppeng telah bertekad akan sehidup semati dengan saudaranya Bone berdasarkan perjanjian tiga negara (TellumpoccoE) di Timurung.



Ketika utusan menyampaikan jawaban datu Soppeng itu kepada Raja Gowa, baginda berkata: “ Baiklah jika demikian, Soppeng rasakan serangan Gowa!”. Diperintahkannya menyerang Soppeng dan Bone bersama-sama. Kedua belah pihak bertempur dengan tanpa mengenal maut. Datu mario yang kini telah pula bergelar Arung Palakka memimpin laskar yang terdiri dari orang-orang Mario, orang-orang Palakka, dan mereka yang pernah menjadi penggali parit di Gowa. Pada petang harinya sebuah panji orang Soppeng dapat direbut oleh musuh. Pasukan Arung Bila telah tewas sebanyak empat puluh orang. Untunglah malam tiba. Kedua belah pihak mundur ke markas masing-masing. Keesokan harinya orang Bonedan Soppeng mulai menyerang laskar Gowa terdesak mundur, terkepung oleh lawan-lawannya.



Tiba-tiba Orang Soppeng mendapat berita, bahwa laskar Wajo, sekutu Gowa telah melintasi perbatasan Soppeng – Wajo. Negeri-negeri yang mereka lalui habis dibakar. Datu Soppeng memerintahkan laskarnya berbalik meninggalkan medan pertempuran lamuru untuk kembali menghadapi laskar wajo. Akan tetapi laskarnya telah letih, sedangkan laskar wajo masih segar dan jumlahnya pun lebih besar. Setelah bertempur berhari-hari laskar Soppeng menyerah.



Arung Bila Tua ayah Daeng Mabela lari menyingkir ke pegunungan Letta. Putrinya We Dimang menyingkir ke arah timur dikawal oleh adiknya, yakni Daeng Mabela. Ibunya dengan dikawal oleh Arung Appanang menyingkir ke Mampu. Laskar Bone setelah ditinggalkan oleh laskar Soppeng, mundur teratur masuk ke daerah Bone Utara. Dikejar dari belakang oleh laskar Gowa. Mampu, Timurung, dan Sailong menjadilah medan perang. Sial bagi orang Bone laskar wajo yang telah selesai tugasnya di Soppeng karena laskar Soppeng telah menyerah, kini bersatu dengan laskar Gowa.



Namun orang Bone tidaklah putus asa. To Bala dan Arung Palakka selalu berada di garis depan. Seolah-olah mereka sengaja mencari maut. Sikap kedua orang panglimanya membakar semangat orang-orang Bone sehingga mereka berkelahi pula dengan tidak mengindahkan maut. Pertempuran ini tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang akhirnya keduanya berdamai. Dalam proses perang dan damai antara kedua kerajaan besar di Sulawesi Selatan ini, yaitu antara Gowa dan Bone. Maka akhirnya Datu Mario Arung palakka La Tenri Tatta Petta Malampe’E Gemme’na pada tanggal 6 April 1698 di dalam istananya di Bontoala dengan amanatnya sebelum wafat, supaya Baginda di makamkan di Bukit Bontobiraeng dalam wilayah kerajaan Gowa. Juga permaisuri baginda yang teamat dicintainnya I Mangkawani Daeng Talele dan telah ikut bersama Baginda mengalami suka duka perjuangannya, turut pula dimakamkan di tempat itu sesuai dengan amanat baginda Arung Palakka sendiri.


0 comments: