Radja Palacca De KoningH Der Bougies inilah gelar yang diberikan kepadanya. Nama yang akrab kita dengan Arung Pallakka beliau adalah Raja Bone
ke-15 lahir pada 15 September 1634. Nama lengkapnya adalah Arung Palakka La
Tenri Tatta Petta Malampee Gemme’na. Dalam sejarah Sulawesi Selatan di
abad ke-17, khususnya dalam perang Makassar nama Latenri Tatta Arung
Palakka tidak dapat dipisahkan. Menurut Mr. Strotenbekker, seorang sejarawan
Belanda dalam bukunya tertulis silsilah yang menyatakan, bahwa Datu Soppeng ri
Lau yang bernama Lamakkarodda Mabbelluwa’E kawin dengan We Tenri Pakku Putri
raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E MatinroE ri Itterung.
Dari perkawinan ini lahir seorang putri yang bernama We Suji Lebba’E ri Mario.
We Suji Lebba’E kawin dengan Raja Bone ke-11 Latenri Rua Sultan Adam matinroE
ri Bantaeng, Raja Bone yang pertama kali memeluk agama Islam. Dari perkawinan
itu lahir seorang putranya yang bernama We Tenri Sui’ Datu Mario ri Wawo.
We Tenri Sui’ kawin dengan seorang bangsawan Soppeng yang bernama Pattobune.
Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga. Dari perkawinan itu lahir :
1.Da Unggu (putri)
2.Latenri Tatta Arung Palakka (putra)
3.Latenri Girang (putra)
4.We Kacumpurang Da Ompo (putri)
5.Da Emba (putri), dan
6.Da Umpi Mappolobombang (putri)
Jadi Latenri Tatta Arung Palakka adalah bangsawan Bone dan Soppeng, cucu dari
Raja Bone ke-11 La Tenriruwa La Pottobune bertempat di Lamatta di daerah Mario
ri Wawo dalam wilayah kerajaan Soppeng. Dari enam orang anak La Pottobune Datu
Lompuleng Arung Tana Tengnga dengan isterinya We Tenri Sui Datu Mario ri Ase,
ada dua orang diantaranya yang menjadi pelaku sejarah Bone di abad ke-17 yaitu
:
1.La Tenri Tatta Daeng Serang yang memimpin peperangan melawan kekuasaan Gowa,
dan
2.We Mappolobombang yang melahirkan Lapatau matanna Tikka Raja Bone ke-16
Oleh karena itu La Tenri Tatta Arung Palakka tidak mempunyai anak, sekalipun
istrinya (I Mangkau Daeng Talele) sangat mengharapkannya, maka ia mengangkat
keponakannya yang bernama La Patau menjadi raja Bone ke-16 dengan gelar Sultan
Alamuddin Petta MatinroE ri Nagauleng. Arung Palakka, diantara
bangsawan-bangsawan Bone dan Soppeng yang diasingkan dari negerinya, setelah
Baginda La Tenri Aji kalah dalam pertempuran di Pasempe pada tahun 1646,
terdapat Arung Tana Tengnga La Pottobune dan ayahnya, yaitu Arung Tana Tengnga
Tua Wilayah kepangeranan Tana Tengnga terletak di tepi sungai WalenneE
berdekatan dengan Lompulle dan bernaung di bawah daulat Kerajaan Soppeng. Dalam
pengasingan itu La Pottobune membawa serta istrinya, We Tenri Sui Datu
Mario ri Wawo dan putranya La Tenri Tatta yang baru berusia sebelas tahun. Ada
lagi empat anak perempuannya, akan tetapi mereka itu ditinggalkan dan
dititipkan pada sanak keluarganya di Soppeng, karena takut jika mereka akan
mendapat cedera dalam pengasingannya. Mereka itu ialah :
1.We Mappolobombang, yang kemudian menjadi Maddanreng Palakka dan menikah
dengan Arungpugi atau Arung Timurung La PakkokoE Towangkone, putra Raja Bone La
Maddaremmeng
2.We Tenrigirang, yang kemudian bergelar Datu Marimari dan kawin dengan
Addatuang To dani, Raja dari lima Ajangtappareng (Sidenreng Rappang, Alitta,
Sawitto, dan Suppa);
3.Da Eba, yang kemudian menikah dengan Datu Tanete Sultan Ismail La Mappajanci;
4. Da Ompo
Adapun We Tenri Sui adalah anak Sultan Adam La Tenri Ruwa, Raja Bone ke-11 yang
wafat dalam pengasingan di Bantaeng, karena ia lebih memilih memeluk agama
Islam dari pada tahta Kerajaan Bone. Dat We Tenri Sui memberikan pula gelaran
Datu Mario ri wawo kepada La Tenri Tatta. Dengan gelaran itulah pangerang ini
terkenal sehingga ia diakui oleh Aruppitu dan rakyat Bone sebagai Arung
Palakka. Suatu kedudukan dan gelaran yang menurut adat telah diberikan kepada
pangerang yang terdekat dari tahta Kerajaan Bone. Pengakuan yang menjadikannya
orang pertama diantara semua bangsawan bone itu, diperolehnya dalam tahun 1660,
menjelang perang kemerdekaan melawan Gowa, di mana ia memegang peranan
terpenting di samping To Bala.
Situasi Tahun 1646
Apabila dikembalikan ke situasi 1646, maka sekilas dapat digambarkan sebagai
berikut:
Tawanan-tawanan perang orang Bone dan Soppeng kebanyakan diangkut ke Gowa, di
mana mereka dibagi-bagi ke antara bangsawan-angsawan Gowa. Arung Tana tengnga
dan keluarganya jatuh ke tangan Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mangadacinna Daeng
Sitaba Karaeng Pattingalloang. Ia adalah seorang yang terkenal budiman dan
berpengetahuan luas. Para tawanannya diperlakukan dengan remah-remah. La
Tenritatta dijadikannya Pembawa
Puan. Karena tugas itu, maka Pangeran selalu ada di dekat beliau, sehingga
tidak sedikit ia mendapat didikan dan ilmu pengetahuan dari ucapan-ucapan serta
sikap sehari-hari dari pengendali kemaharajaan Gowa yang termasyhur sangat
pandai dan bijaksana itu. Ia juga disegani oleh setiap kawan dan lawannya. Di kalangan
para pemuda bangsawan Gowa, La Tenritatta terkenal dengan nama Daeng Serang.
Dengan mereka itu ia berlatih main tombak, kelewang, pencak silat, raga,dan
berbagai permainan olah raga lainnya. Dalam pertandingan-pertandingan tidak
jarang Daeng Serang menjadi juara. Konon dalam permainan raga tigak ada
tandingannya di masa itu.
Menurut berita, roman muka dan fisiknya sangatlah menarik dan mengesankan ;
dahinya tinggi, hidungnya mancung, matanya tajam menawan, dagunya tajam alamat
berkemauan keras. Tubuhnya semampai, berisi, dan kekar.
Rupanya Karaeng Pattingalloang sayang dan bangga akan pramubaktinya yang
bangsawan, gagah dan cerdas itu. Karaeng Serang dibiarkannya bergaul dengan
pemuda-pemuda lainnya bagaikan kawan sederajat dengan pemuda-pemuda bangsawan
Gowa. Bahkan diperkenalkannya kepada Sultan. Datu Mar alias Daeng Serang telah
menjadi buah tutur di antara bangsawan-bangsawan muda dan rakyat ibukota
Kerajaan Gowa.
Sayang bagi keluarga Arung Tana Tengnga, Karaeng Pattingalloang lekas wafat
yaitu pada tanggal 15 September 1654. Merekapun berganti tuan, yaitu berpindah
ke tangan Karaeng Karungrung, yang menggantikan ayahnya sebagai Mangkubumi
Kerajaan Gowa. Dia ini terkenal sebagai seorang yang sangat keras tabitnya,
tidak seperti ayahnya yang halus budi bahasanya dan baik hati sesamanya
manusia.
Pada waktu itu Datu Mario telah menjelang 20 tahun usianya. Ia telah dewasa.
Akibat perlakuan tuan barunya yang jauh berbeda dengan ayahnya yang telah
meninggal, disadarinya dengan pahit akan kedudukannya sekeluarga sebagai
tawanan perang yang pada hakekatnya tidaklah berbeda dengan kedudukan budak.
Mereka tidak bebas kemana-mana, harus melakukan segala kehendak tuannya, makan
minumnya tergantung daripadanya, nasibnya terserah sepenuhnya kepada balas
kasihan atau kesewenang-wenangan tuannya itu.
Mengenai tawanan-tawanan lain, diantaranya terdapat beberapa orang dari Soppeng
seperti Arung Bila Daeng Mabela, Arung Belo To Sade, dan Arung Appanang. Nasib
beliau itu tidaklah lebih baik dari Datu Mario. Sejak semula mereka
menginjakkan kaki di bumi Gowa, mereka mengalami perlakuan-perlakuan yang
pahit. Tidaklah heran kalau mereka itu setiap saat memanjatkan doa, agar tanah
air mereka segera merdeka kembali dan mereka dapat pulang kembali ke Bone
bersatu dengan sanak keluarganya.
Dalam pada itu rakyat Bone sendiri merintih, tertindih di bawah berbagi macam
beban yang ditimpakan oleh Kerajaan Gowa di atas kepala mereka. Jennang To Bala
tidaklah sanggup membela mereka itu. Oleh karena itu di sinipun rakyat sedang
mengimpikan turunnya seorang malaikat kemerdekaan yang akan segera melepaskan
mereka dari penderitaan perbudakan tahun 1660.
Pada pertengahan tahun itu Jennang To Bala mendapat perintah dari Karaeng
Karungrung, supaya secepat mungkin mengumpulkan sepuluh ribu orang laki-laki
untuk dibawa segera ke Gowa menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan,
di sepanjang pantai di sekitar ibukota Somba Opu. To Bala sendiri diharuskan
mengantar mereka itu ke Gowa.
Pada akhir bulan Juli tibalah Arung Tanete To Bala dengan sepuluh ribu orang
Bone di Gowa. Orang sebanyak itu diambilnya dari berbagai golongan, lapisan,
dan umur. Ada petani, nelayan, pandai kayu, ada orang kebanyakan, budak, bahkan
bangsawan, dan ada yang nampaknya masih kanak-kanak akan tetapi tidak kurang
pula yang sudah putih seluruh rambutnya serta sudah ompong. To Bala tidaklah
sempat lagi memilih hanya orang-orang yang kuat saja, atau mereka yang sedang
menganggur saja, atau pun hanya orang kebanyakan dan hamba sahaya.
Mereka membawa bekal, pacul atau linggis sendiri. Banyak di antara mereka itu
yang sakit ketika tiba di Gowa, terutama yang masih kanak-kanak atau yang sudah
terlalu tua. Mereka tidak tahan melakukan perjalanan ratusan kilometer jauhnya,
naik gunung, turun gunung, masuk hutan, keluar hutan. Banyak yang berangkat
dengan bekal yang tidak cukup karena tidak ada waktu untuk mempersiapkannya.
Mereka diambil paksa dari tempat pekerjaannya dan dari anak istri atau orang
tuanya.
Datu Mario dan tawanan-tawanan perang Bone lainnya yang kesemuanya orang-orang
bangsawan mengetahui akan hal itu. Banyak di antara mereka yang datang untuk
menengok orang-orang senegerinya itu ketika mereka baru tiba. Malahan Datu
Mario sering mengawal Karaeng Karungrung, apabial mereka pergi memeriksa
kemajuan pekerjaan menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan itu.
Iba hati pangerang itu melihat penderitaan orang-orang senegerinya. Mereka
bekerja dari pagi sampai petang, hanya berhenti sedikit untuk makan tengah hari
dari bekal mereka yang terdiri dari nasi jagung dan serbuk ikan kering yang
lebih banyak garam dari pada ikannya. Sungguh sangat menyedihkan mereka itu.
Apalagi waktu itu musim kemarau, panas terik bukan kepalang di tepi pantai.
Celakalah barang siapa yang dianggap malas. Mereka didera dengan cambuk oleh
mandor-mandor yang tidak mengenalperikemanusiaan. Orang-orang yang
dikhawatirkan akan membangkang, kakinya dibelenggu (risakkala).
Karena pekerjaan yang telampau berat itu, sedang makanan amat kurang, lagi pula
obat-obatan tidak ada, banyaklah di antara pekerja-pekerja itu yang jatuh
sakit. Kebanyakan yang sakit tidak sembuh lagi. Mereka mati jauh dari anak
istri dan ibu bapak mereka. Tidaklah mengherankan, kalau di antara para pekerja
yang malang itu ada yang berusaha melarikan diri. Maka celakalah apabila ia
tertangkap kembali. Ia didera setengah mati, lalu disuruh bekerja dengan kaki
terbelenggu (risakkala) untuk waktu yang lama. Akan tetapi tidak tahan dengan
penderitaan, maka banyaklah pekerja yang melarikan diri. Mangkubumi Karaeng
Karungrung amat murka akan hal itu. Beliau berkehendak, supaya parit-parit
pertahanan di sekitar Somba Opu, Jumpandang dan Panakkukang serta kubu-kubu
pertahanan sepanjang pantai selesai November. Untuk mengganti pelarian-pelarian
yang tidak tertangkap kembali, maka diperintahkannya semua tahanan perang pria
yang ada di ibukota ikut serta pada pekerjaan itu. Datu Mario dan
bangsawan-bangsawan lain, baik yang dari Bone maupun yang dari Soppeng turut
menggali dan mengangkat tanah pada setiap harinya. Ayah Datu Mario, karena
sudah terlalu tua dan sering sakit-sakitan dibebaskan dari pekerjaan fisik yang
amat berat itu. Pada suatu hari diawal bulan September 1660 itu, Datu Mario
pulang dari menggali parit, didapati ayahnya meninggal. Beliau dikatakan telah
dibunuh pada pagi hari itu dengan sangat kejam, karena ia mengamuk di hadapan
Sri Sultan, disebabkan karena bermata gelap, melihat beberapa orang Bone yang
disiksa sampai mati. Mereka itu adalah pelarian dari tempat penggalian
parit-parit, ditangkap kembali oleh orang Gowa.
Arung Tana Tengnga Tua, Nenek Datu Mario, beberapa tahun sebelumnya telah pula
meninggal dengan cara yang serupa. Menurut berita, beliaupun mengamuk di depan
para pembesar Kerajaan Gowa. Beliau ditangkap lalu dibunuh dengan cara yang
amat kejam pula. Datu Mario bersumpah akan menuntut balas terhadap kematian
ayah dan neneknya serta sekian banyak orang Bone lainnya. Maka direncanakannya
suatu pemberontakan secara besar-besaran untuk melepaskan Bone dari penjajahan
dan perbudakan Gowa.
Pada suatu hari dalam pertengahan bulan September itu sementara Sultan
Hasanuddin bersama dengan segala pembesar kerajaannya berpesta besar di Tallo,
Datu Mario menggerakkan semua pekerja parit orang Bone yang hampir sepuluh ribu
orang jumlahnya itu bersama dengan semua tawanan perang dari Bone dan Soppeng
melarikan diri dari Gowa. Pelarian itu berhasil dengan gemilang di bawah
pimpinan Datu Mario. Pada hari yang keempat petang mereka tiba di Lamuru, Datu
Mario segera mengirimkan kurir kilat kepada Jennang To Bala dan Datu Soppeng
untuk melaporkan peristiwa besar itu dan mengajaknya bertemu di Attappang dekat
Mampu.
Beberapa hari kemudian bertemulah Datu Soppeng La Tenri Bali, Arung Tanete To
Bala. Dan Datu Mario Latenri Tatta di Attappang. Pada pihak Datu Soppeng ikut
hadir ayahnya Lamaddussila Arung mampu dan Arung Bila. Pada pihak To Bala hadir
Arung Tibojong, Arung Ujung, dan sejumlah besar bangsawan Bone. Bersama Datu
Mario hadir pula Daeng Mabela, Arung Belo dan Arung Appanang. Atas desakan Datu
Mario dan kawan-kawannya, Datu Soppeng segera menyetujui tawaran To Bala untuk
mempersatukan Bone dan Soppeng melawan Gowa. Perundingan berlangsung di suatu
tempat yang netral yaitu di atas rakit sungai Attapang. Oleh sebab itu
persetujuan Bone-Soppeng itu (1660) dinamai “ Pincara LopiE ri Attappang (rakit
perahu di Attappang)
Setelah itu pulanglah mereka masing-masing ke negerinya. Datu Mario kembali ke
Lamuru menemui laskar-laskarnya, bekas penggali-penggali parit di Gowa yang
berjumlah hampir sepuluh ribu orang. Semuanya ingin memikul tombak di bawah
Datu Mario untuk menyambut orang Gowa. Akan tetapi oleh Datu Mario
diperintahkan yang sudah ubanan sama sekali dan yang belum dewasa harus tinggal
di kampung untuk membela wanita-wanita, orang tua-tua, dan anak-anak. Para
pengikut lainnya paling lambat setelah sepekan (lima hari) sudah berkumpul
kembali di Mario. Menurut perhitungan Datu Mario, paling cepat sepekan lagi
barulah laskar Gowa dapat berada di Lamuru. Ibu dan istrinya I Mangkawani Daeng
Talele telah dibawanya ke Desa Lamatta, tempat kediaman mereka 14 tahun yang
lalu sebelum diasingkan ke Gowa.
Alangkah bahagia perasaan ibunya berada kembali di negeri leluhurnya, di
tengah-tengah rakyat yang mencintainya. Sayang sekali, Datu yang telah tua itu
tidak lama menikmati kebahagiaan itu di dunia. Oleh Yang Maha Esa, beliau hanya
diizinkan menghirup udara Lamatta sepekan lamanya. Penderitaan selama dalam
pengasingan, terlebih-lebih dalam bulan yang terakhir setelah meninggal
suaminya, ditambah keletihan dalam pelarian dari Bontoala ke Lamuru selama
empat hari empat malam sempat juga ia menikmati berita bahagia, bahwa Aruppitu,
para bangsawan dan rakyat Bone telah mengakui putranya Datu Mario sebagai Arung
Palakka. Di mana ia sebagai ahli waris neneknya yakni Sultan Adam La Tenri Ruwa
Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng.
Datu Mario yang kini mulai terkenal sebagai Arung Palakka, tidaklah dapat
duduk-duduk bersantai atas kematian ibunya itu, karena telah diterimanya kabar,
bahwa laskar Gowa yang berjumlah besar telah mendaki ke Camba untuk menuju
Bone. Dalam dua hari kepala laskar itu sudah dapat berada di Lamuru. Dengan
segera dikirimnya kurir ke Soppeng dan Bone dengan membawa berita dan meminta,
supaya sebagian laskar di kirim ke Lamuru untuk menyambut laskar Gowa di tempat
itu. Pada hari yang ketiga barulah laskar Gowa tiba di Lamuru. Petang harinya
tiba pula laskar Soppeng hampir bersamaan dengan laskar Bone. Bersatulah mereka
untuk menghadapi laskar Gowa. Kedua belah pihak sama kuat. Menurut cerita
masing-masing berkekuatan kurang lebih 11.000 orang.
Raja Gowa berusaha memisahkan orang Soppeng dari orang Bone. Baginda mengirim
utusan kepada Datu Soppeng dengan pesan, bahwa antara Gowa dan Soppeng tidak
ada perselisihan. Janganlah hendaknya orang Soppeng mau diseret oleh orang Bone
untuk masuk ke liang lahat. Peperangan ini tidak berarti mengubur diri sendiri
bagi orang Bone. Akan tetapi Datu Soppeng dan Arung Bila, ayah Daeng Mabela
menjawab, bahwa Soppeng telah bertekad akan sehidup semati dengan saudaranya
Bone berdasarkan perjanjian tiga negara (TellumpoccoE) di Timurung.
Ketika utusan menyampaikan jawaban datu Soppeng itu kepada Raja Gowa, baginda
berkata: “ Baiklah jika demikian, Soppeng rasakan serangan Gowa!”.
Diperintahkannya menyerang Soppeng dan Bone bersama-sama. Kedua belah pihak
bertempur dengan tanpa mengenal maut. Datu mario yang kini telah pula bergelar
Arung Palakka memimpin laskar yang terdiri dari orang-orang Mario, orang-orang
Palakka, dan mereka yang pernah menjadi penggali parit di Gowa. Pada petang
harinya sebuah panji orang Soppeng dapat direbut oleh musuh. Pasukan Arung Bila
telah tewas sebanyak empat puluh orang. Untunglah malam tiba. Kedua belah pihak
mundur ke markas masing-masing. Keesokan harinya orang Bonedan Soppeng mulai
menyerang laskar Gowa terdesak mundur, terkepung oleh lawan-lawannya.
Tiba-tiba Orang Soppeng mendapat berita, bahwa laskar Wajo, sekutu Gowa telah
melintasi perbatasan Soppeng – Wajo. Negeri-negeri yang mereka lalui habis
dibakar. Datu Soppeng memerintahkan laskarnya berbalik meninggalkan medan
pertempuran lamuru untuk kembali menghadapi laskar wajo. Akan tetapi laskarnya
telah letih, sedangkan laskar wajo masih segar dan jumlahnya pun lebih besar.
Setelah bertempur berhari-hari laskar Soppeng menyerah.
Arung Bila Tua ayah Daeng Mabela lari menyingkir ke pegunungan Letta. Putrinya
We Dimang menyingkir ke arah timur dikawal oleh adiknya, yakni Daeng Mabela.
Ibunya dengan dikawal oleh Arung Appanang menyingkir ke Mampu. Laskar Bone
setelah ditinggalkan oleh laskar Soppeng, mundur teratur masuk ke daerah Bone
Utara. Dikejar dari belakang oleh laskar Gowa. Mampu, Timurung, dan Sailong
menjadilah medan perang. Sial bagi orang Bone laskar wajo yang telah selesai
tugasnya di Soppeng karena laskar Soppeng telah menyerah, kini bersatu dengan
laskar Gowa.
Namun orang Bone tidaklah putus asa. To Bala dan Arung Palakka selalu berada di
garis depan. Seolah-olah mereka sengaja mencari maut. Sikap kedua orang
panglimanya membakar semangat orang-orang Bone sehingga mereka berkelahi pula
dengan tidak mengindahkan maut. Pertempuran ini tidak ada yang kalah dan tidak
ada yang menang akhirnya keduanya berdamai. Dalam proses perang dan damai
antara kedua kerajaan besar di Sulawesi Selatan ini, yaitu antara Gowa dan
Bone. Maka akhirnya Datu Mario Arung palakka La Tenri Tatta Petta Malampe’E
Gemme’na pada tanggal 6 April 1698 di dalam istananya di Bontoala dengan
amanatnya sebelum wafat, supaya Baginda di makamkan di Bukit Bontobiraeng dalam
wilayah kerajaan Gowa. Juga permaisuri baginda yang teamat dicintainnya I
Mangkawani Daeng Talele dan telah ikut bersama Baginda mengalami suka duka
perjuangannya, turut pula dimakamkan di tempat itu sesuai dengan amanat baginda
Arung Palakka sendiri.
0 comments: