Tulisan Baru

Saturday 14 April 2012

Reproduksi Budaya Bugis


Kabupaten Bone bukan hanya sekedar kabupaten yang berada sebelah timur kota Makassar secara geografis, namun sebagai pusat peradaban di zamannya. Tulisan lontara menjadi salah satu bukti eksistensi dari peradaban yang terbangun. Sistem pemerintahan yang ada sebelum bangsa Indonesia dideklarasikan menunjukkan adanya keteraturan kehidupan masyarakat dalam wilayah ini.
Peradaban masa lalu yang terbangun di masanya tentunya merupakan sesuatu yang tercermin pada saat itu. Aturan yang terbangun merupakan hal yang relevan dengan kondisi kehidupan masyarakat bumi Arung Palakka ini. Banyak hal yang menjadi kebiasaan masa lalu masih dilaksanakan dengan masyarakat dewasa ini. Kebiasaan ini terbangun berdasar dengan nila-nilai budaya yang menjadi perangkat peraturan sehingga mengikat masyarakat.
Peradaban yang terbangun berkat pemikiran-pemikiran tentunya terikat dengan ruang dan waktu. Kebiasaan yang berlaku dan dilakukan pada masa lalu belum tentu sesuai dengan konteks kekinian. Hal ini kita bisa lihat pada lapisan sosial misalnya, masyarakat Bugis membeda-bedakan manusia menurut tinggi rendah keturunannya. Ukuran satu-satunya ialah soal darah atau keturunan sebagai unsur primair. Pembagian dalam lapisan sosial atas golongan ini merupakan satu faktor penting yang mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Dapat pula kita lihat pada kebiasaan-kebiasaan tata cara dalam pernikahan terutama pada konsep pemberian uang panae’.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba melihat pada dua kebiasaan tersebut yang dilakukan pada era kerajaan dan dalam bingkai bangsa Indonesia. Reproduksi budaya bugis yang dimaksudkan pada tulisan ini adalah melihat atau mencernah kembali kebiasaan-kebiasaan yang terbangun di masa lalu dengan membandingkan kondisi yang ada saat ini pada budaya Bugis Bone yang harus dikritisasi berdasar dengan ruang dan waktu. Reproduksi budaya adalah istilah yang dipakai oleh penulis untuk menujukkan relevansi dan kebutuhan masyarakat saat ini.
Kebiasaan yang terbangun dengan membedakan lapisan masyarakat merupakan cerminan status sosial seseorang pada kehidupan bermasyarakat. Lapisan itu bisa dilihat pada posisi sebagai Arung, To Deceng, To Sama dan Ata. Setiap strata sosial itu bekerja dan memposisikan diri sebagaimana fungsinya.
Ditarik pada konteks kekinian, pertanyaannya kemudian adalah apakah strata sosial ini masih relevan atau tidak? Atau mungkin saja perlu untuk direproduksi? Untuk menjawabnya tentu haruslah adil.
Globalisasi menciptakan persaingan yang begitu ketat. Kemampuan yang menjadi dasar dalam mengikuti zaman ini. Tingkat pendidikan merupakan salah satu ukuran indikator yang digunakan untuk melihat itu. Bagi mereka yang memiliki pendidikan tinggi tentu mempunyai kesempatan lebih besar dalam memberi andil. Terbukanya peluang dan kesempatan bagi setiap orang untuk menempuh pendidikan semakin terbuka, yang jelas kemampuan ekonomi mumpuni, setiap masyarakat memiliki hak yang sama tanpa melihat status sosial. Kesempatan memimpin pun tidak mengharuskan dari kalangan strata sosial paling tinggi.
Era globalisasi ini telah merubah tatanan kehidupan Bugis. Status sosial yang berdasar pada keturunan berpindah pada kemampuan individu. Siapa pun dia yang memiliki kemampuan, maka berhak mengambil peran dalam masyarakat. Tidak ada lagi penentuan kekuasaan berdasar pada garis keturunan, tidak ada lagi pandangan penempatan tinggi rendah seseorang.
Pada tata cara melangsungkan pernikahan (tentu bukan pada hal yang teknis resepsi), namun hal yang menjadi perhatian penulis adalah uang panae’. Uang panae’ adalah kewajiban bagi seorang calon mempelai laki-laki. Uang panae’ ini merupakan serahan dibayarkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dengan jumlah nominal tertentu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Makanya tidaklah mengherankan bagi beberapa kalangan pria menjadikan ini sebagai momok tersendiri dalam melangsungkan niat pernikahannya. Kebiasaan ini begitu kuat dan menjadikan sebagai bentuk apresiasi di mata masyarakat. Semakin tinggi, semakin memiliki pamor dalam pandangan sosial. Olehnya itu, tidak dapat dipungkiri kalau uang panae’ ini telah menjadi gambaran keluarga dan terkesan menjadi status sosial baru.
Kalau pandangan tentang lapisan sosial sudah tidak dianggap sesuatu yang tidak relevan lagi dengan kondisi zaman, bagaimana dengan kebiasaan uang panae’ ini? Apakah hal ini sesuai dengan kondisi kekinian dan masih dianggap perlu.
Syarat mutlak dari sebuah reproduksi kebudayaan adalah pertimbangan kearifan lokal (local wisdom) dan agama. Kalau nilai lokalitas ini sesuai dengan nilai agama, maka tentu saja mesti dipertahankan. Adapun yang tidak relevan dengan nilai-nilai agama mesti dipertimbangkan untuk ditinggalkan atau direproduksi dengan sesuatu yang baru.
Agama merupakan aturan yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. Aturan agama Islam diperuntukkan untuk semua. Pertimbangan berdasarkan agama ini tentu tidak bisa kita toleran, artinya bahwa bersifat mutlak untuk diikuti. Aturan Islam yang berkaitan dengan pernikahan juga telah mengaturnya, menjadi sunnah dan mesti dipermudah. Dua hal yang dianggap penting yaitu adanya Ijab Kabul dan mengabarkan kepada orang lain.
Cara penyampaian kepada khalayak ramai umumnya dilangsungkan dengan sangat ramai. Ini menjadi sesuatu yang terkesan megah dan mewah dikalangan Bugis Bone. Dengan segala prosesi yang mesti dilalui oleh kedua belah pihak menghabiskan dana yang tidak sedikit. Prosesi pesta penikahan inilah oleh pihak perempuan menjadi tanggung jawab pihak pria.
Merujuk pada nilai agama tidaklah relevan. Ajaran agama menganjurkan untuk mempermudah salah satu ibadah sunnah ini namun oleh nilai budaya terkesan mempersulit. Demikian pula dengan jumlah nominal yang harus dikeluarkan demi berlangsungnya pesta pernikahan, terkesan hanya pemborosan.
Cukuplah adil apabila kita lihat pada sisi lokalitas, apa yang menjadi makna dari pemberian uang panae’ tersebut. Reso atau dalam bahasa Indonesia berarti usaha menjadi gambaran dari konsep uang panae’ ini. Selain material dalam nominal, ada usaha yang mesti dibayar oleh pihak pria. Hal ini juga menjadi bukti awal bahwa usaha pertanggung jawaban bagi seorang pria sebelum mengarungi pernikahan, sejalan dengan pepatah Bugis yang mengatakan bahwa reso pa temma ngingi naletei puang dewata (hanya dengan usaha keraslah dapat berkat Tuhan). Melalui uang panae’ inilah secara tidak langsung memberi motivasi bagi pria untuk bekerja. Apabila dilihat dari sudut pandang ini tentu menjadi hal yang positif.
Dengan pertimbangan diatas, membandingkan antara nilai agama dan budaya yang terbangun, rasanya akan subjektif untuk memilih mereproduksi kebiasaan ini. Asimilasi antara agama dan budaya dalam masyarakat Bugis adalah mutlak dan beriringan. Harapku hanya komunikasi dalam kesepakatan besaran uang panae’ berdasar pada kebutuhan kedua belah pihak bukan karena pamoritas dalam pandangan orang lain.
Tulisan ini ku coba tulis di waktu luang setelah diskusi di asrama arung palakka Yogyakarta dengan tema rekonstruksi budaya sulawesi
Di tulis Oleh Adnan Achiruddin Saleh
Dirgahayu Bone ku

0 comments: